Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Mom's Day

Menulis di blog serasa lebih menyenangkan dibandingkan mengisi kertas kosong di laptopku dengan untaian kalimat penuh sitasi. Di blog inilah semua sudut pandangku tak perlu merujuk referensi. Teriakan kata penuh makna berasal dari hati. Tapi bukankah manusia itu adalah makhluk yang penuh dilema? Senang dan sedih kita sendiri yang membikinnya drama. Sudahlah, malam ini biarkan aku mengadu. Mengukir cerita yang bisa dibaca anak-anakku. Hari ini 22 Desember. Hari ibu. Media sosial penuh dengan tulisan dan ucapan sedari fajar hinga senja. Sebagian ada pro dan kontra. Sang pro akan mengucapkan kata-kata indah di bawah foto sang ibunda. Kaum kontra akan menekankan dua hal : "setiap hari adalah hari ibu" dan "jangan mengucapkan di medsos saja". Entahlah, mau pro atau kontra, sebenarnya mereka sama-sama meramaikannya :) Tapi aku tidak fokus ke netizen. Itu urusan mereka. Aku fokus ke ibundaku yang mulai menua. Sebagian manusia pasti mengharapkan sosok ibu yang cant

Curhat

Salah satu penyakit perempuan, salah satunya aku, adalah sering curhat atau cerita-cerita kurang faedah. Aku mendinglah, tidak bisa curhat ke banyak orang atau medsos hehe Tapi sekali lagi, rasanya aku salah juga sih kalo tadi bilang kurang faedah. Soalnya faedah dan urgensi orang kan berbeda-beda. Yang mau aku tekankan, pun untuk diriku sendiri, adalah yang paling mengerti kita sesungguhnya ya kita sendiri. Seringkali jika cerita ke orang lain, orang tersebut memiliki "penangkapan" yang berbeda. Tidak jarang malah berakhir dengan ribut. Maka, aku lebih sering menyesali "cerita-cerita dan curhatku" dibandingkan diamku.

Long time no see...

Beberapa bulan ini mungkin aku lebih sering berkutat pada sesuatu yang ilmiah dan rasional. Entah mengapa justru lebih sering kejadian-kejadian di luar nalar yang terjadi padaku. Aku jadi merasa ingin mengabadikannya dalam kata. Aku rindu menulis!!! Tentu bukan menulis paper. Bagiku menulis artinya bercerita. Aku ingin cerita-cerita ini kelak dibaca oleh anak cucuku. Minimal suamiku lah. Semoga blogger tidak di-ban di kemudian hari. Tak terasa sudah sampailah di penghujung 2020 yang menawan. Saatnya untuk menunjukkan highlight tahun ini yang luar biasa.

Jaga Diri

Teruntuk adik-adikku semua, saudara yang lebih muda, dan teman-temanku yang belum menikah : jaga diri ya! Sungguh jagalah dirimu. Meski berat. Meski harus sabar dalam kegalauan. Aku tahu itu berat di zaman sekarang. Tapi pesanku sungguh : jaga diri ya. Biarkan dirimu saling memiliki dan menorehkan kisah kasih yang halal. Sesuatu yang sudah pernah terjadi tidak akan hilang. Dia besok jadi kenangan yang terus membayang-bayangimu dan pasanganmu kelak. Sungguh, besar sekali makna penjagaan diri ini setelah menikah. Besok kalian akan tahu. Jangan biarkan sesuatu yang diharamkan menjadi biasa karena banyak yang melakukannya. Jaga diri ya! Semoga besok kita bisa menatap wajah pasangan kita dan berkata, "Aku telah menunggu seumur hidup lamanya dan sekarang aku menemukanmu".

Merayakan Rindu

Rinduku sekarang bukan soal tangis. Bukan tentang ratapan pelik puan gadis. Bukan protes hidup yang mengapa jadi tragis. Bukan soal garis waktu yang makin lama makin mengiris. Rindu itu tentang hangatnya hati saat kuingat tawamu di hari Sabtu. Tentang semangat yang membara karena apimu. Tentang matahari yang kita lihat terbenam malu-malu. Tentang canda, tentang anekdot, yang kita suka meski tak lucu. Tentang pelukmu yang sekarang jadi candu. Tentang senyum kecil saat melihat apapun yang mengingatku padamu. Rindu ini bukan belenggu, rindu ini syahdu. Mari merayakan rindu. Notes : Semua tulisan ini untuk merayakan kebersamaan. Dulu kau pernah bilang, "Aku akan membuatmu menjadi wanita paling beruntung di dunia". Sekarang itu jadi nyata.

Merayakan Kehilangan

Ada sesuatu yang tiba-tiba hilang. Tanpa berita, tanpa persiapan. Sesuatu itu menorehkan sejuta kenangan. Tentang rumput yang merambat sampai daun pohonan. Tentang hidup yang tak sedikit aral dalam tujuan. Hidup kita tetap satu. Jiwa kita penuh. Raga benda datang dan hilang. Ceritanya akan kekal dalam angan. Dia akan membesar, membesar, menjalar dalam pikiran. Dia akan selalu datang. Mari rayakan kehilangan.

Cerita Senja di Bandara Jakarta

Seperti biasa, perpisahan menyisakan kekosongan mendalam di hati. Lubang itu menganga, lebar, melompong, tak tertutup sebelum diisi oleh temu-temu di hari selanjutnya. Dengan gontai, aku berjalan masuk ke bandara. Sendirian. Meski bandara selalu ramai tapi kita semua pasti tahu bahwa ramai atau sepi itu adanya di dalam jiwa. Kita bisa merasa kesepian di tengah pasar malam. Pun, kita bisa merasa tenang dalam dekapan Tuhan saat sholat malam di gulita yang mencekam. Itulah perasaan. Aneh. Seperti pagi itu, baru saja aku bertemu, belum ada satu jam berpisah tapi sudah merasa berwindu. Aneh. Karena hidup harus terus berjalan, ku lanjutkan langkahku lebih dalam ke bandara. Kutunjukkan e-ticket -ku kepada petugas. Segera aku mengantri mesin x-ray . Sudah kulepas jaket dan jam tanganku. Masih dengan gontai. Sambil memikirkan apa yang kira-kira sedang mas lakukan sekarang. Mungkin sedang menunggu penerbangan dengan teman-temannya. Beruntungnya mas karena pulang dan pergi beramai-ramai, ti

Long Distance Marriage

Beberapa hari yang lalu, Allah menakdirkan aku dan mas bertemu. Meski singkat, rasanya hilang semua penat. Meski singkat, senyum jadi hiasan terhebat selama bersama. Meski singkat, tubuh yang sakit kini menjadi sehat. Namun, ketika tatapan mata telah usai sementara, bisikan di jiwa terus bertanya sampai kapan ini semua. Bukannya tidak bersyukur, hanya saja berdua rasanya lebih sempurna.  Tapi perihal hidup manusia, tak elok jika selalu melihat yang di atas. Manusia merasa kurang saat menilai sesuatu yang dirasa tidak pas. Maka, pengalaman orang-orang terdahulu ataupun cerita-cerita orang lain mungkin bisa jadi kunci. Yah meski tak mengobati, minimal bisa mengurangi beban di hati.  Aku tidak sengaja bertemu teman baru. Dia bercerita bahwa sudah hidup berjauhan dengan suaminya sejak dulu. Dari mulai menikah hingga anaknya masuk sekolah. Jika dihitung-hitung lima tahun. Kenapa tidak ikut saja? Sama seperti aku, semua punya kisah yang unik. Tak ada yang mau hidup berjauhan dengan

Lelah

Manusia bisa lelah, bisa payah, dan rasanya ingin menyerah. Manusia bisa mengaku kalah lalu bagai melambaikan bendera putih dengan tiang galah. Setiap hari aku disuguhi aktivitas yang menjemukan. Terus menerus sampai bosan. Aku mungkin belum jadi istri sempurna karena belum ada keturunan. Hari-hariku masih diliputi bayang-bayang studi. Pagi hingga sore hari, banyaaak sekali agenda yang menanti. Malam yang singkat rasanya jadi tempat menumpahkan isi hati juga memanjakan diri. Dalam perenungan hari-hari ini, aku bertanya-tanya. Aku saja lelah begini bagaimana mas ya. Sedari pagi hingga petang bahkan dini hari masih saja mengerjakan sesuatu. Meski lelah, seorang suami tak pernah menyerah pada takdir. Lelaki sejati selalu giat bekerja, memenuhi nafkah untuk istri dan anak-anak. Mereka mungkin kesal pada kolega, tapi senyum bayi di rumah jadi obat paling mujarab. Tubuh mereka mungkin pegal, tapi tidak dirasa demi membuat keluarga nyaman untuk tinggal. "Suamiku terima kasih untuk

Mata Kaca Mas

Aku belum pernah lihat mas menangis. Satu kali pun. Belasan jam aku bersamanya dalam sehari waktu itu. Mas selalu kelihatan kuat. Bahkan jarang sekali curhat ngeluh-ngeluh kayak aku. Kadang aku ingin merasakan jadi tempat kedua untuk mas mengadu. Seperti anak kecil yang dinakalin temannya, lalu lari sambil menangis, mengadu ke ibunya. Kocak memang, tapi rasa memiliki ini begitu besar hingga rasanya ingin jadi yang paling tahu. Meski belum lihat mas menangis, dua kali aku lihat mata mas berkaca-kaca. Yang pertama, hampir setahun yang lalu saat membahas hidup dan mati. Kami sadar, pertemuan ini akan bermuara pada perpisahan. Waktunya entah kapan, tapi pasti datang. Saat itu, kami berdoa agar besok kami "pulang" bersama-sama. Kami berpelukan erat tanpa celah. Kemudian aku melihat wajah mas. Wajahku semakin jelas terpantul di bola mata mas. Mata mas lebih lembab dari biasanya. "Mas nangis?", tanyaku sambil berbisik. "Enggak". Yang kedua, aku lihat di

"Istri yang Pesimis"

Di antara hobiku yang negatif, aku tu sering memikirkan hal-hal yang kadang ga perlu. Aku tanya teman-temanku yang perempuan, mereka katanya juga gitu. Tos deh. Penyakit emang ini ya. Salah satu yang sering kupikirkan adalah besok aku jadi apa ya. Sebelum menikah aku memang punya sejuta cita-cita. Tapi setelah menikah, rasanya aku kok jadi super nyaman ya. Banyak aktivitas yang lebih 'ku dambakan. Menggendong anak, masak bakso untuk suami, beres-beres rumah. Ah, dulu waktu single ga pernah kepikiran gini. Sekarang rasanya I wanna be a good wife, a good mother. Tapi di sisi lain, ada perasaan-perasaan "ingin" meraih apa dulu yang jadi mimpi-mimpiku. Hal ini juga yang jadi pemantik aku untuk berjuang. Tapi kemudian aku harus menyelesaikan dulu tugasku untuk lulus studi. Lalu galau dengan realita, semangat lagi, risau lagi, dan begitu seterusnya. Sampai-sampai aku berpikir, apa mungkin ya aku bisa. Dan anehnya, aku pun curhat itu ke suamik. Emang apa-apa aku curha

Surat Terbuka untuk Abi

Adalah kebiasaanku menaruh surat di sakumu diam-diam. Aku tahu waktu itu, 16 Juni, mas juga menanti surat dariku seperti biasanya. Aku sengaja tidak memberikannya. Akan kutuliskan semua di sini. Sekaligus memotivasi seluruh pasutri muda di dunia yang punya banyak rumah dan kampung halaman seperti kita. Lebaran tahun ini kali kedua aku merayakannya dengan mas. Bukan seperti kemarin, kali ini kita mudik. Banyak orang di luar sana mendambakan punya pasangan yang asalnya jauh agar bisa mudik. Aku hanya tertawa melihat itu. "Tidak semudah itu, kakaaaaak". Kita adalah salah satunya, mas. Mudik kita selalu melibatkan empat kota dalam tiga pulau. Jika satu pulau lagi akan mendapatkan piring cantik, maka aku kan memecahkan piringnya. Aku akan berteriak keras lebih memilih tidak. Jauh-jauh hari sebelum lebaran, aku sudah risau memikirkan rute mudik kita yang aduhai. Solo-Lampung-Solo-Jogja-Magelang-Jogja-Solo : untukku, sedangkan mas : Balikpapan-Lampung-Solo-Jogja-Magelang-Jogja-

Sebuah "Conflique"

Ada kalanya kehidupan rumah tangga tak semulus drama korea. Seperti hari itu. Siang hari yang panas dan sepi membuatku ingin sekali bersua. Detik demi detik terasa jutaan tahun cahaya yang tak ada habisnya. Aku ingin segera bertemu mas. Meski hanya lewat video call. S eperti biasanya. Tiap jam 'ku hujani ponselnya dengan pesanku. Memintanya pulang cepat dan menanyakan retorisme. Aku tahu aku sangat mengganggu. Tapi terkadang ada sebuah rasa yang melimpah ruah seperti air bah. Makin dibendung, makin kuatlah ia. Semakin besar juga energinya kemudian dia bisa tumpah dan semua jadi porak poranda. Aku tidak pandai menyembunyikan perasaan. Jika di luar sana banyak pria bingung dengan kode-kode wanitanya, maka akan lain jika dengan aku. Aku sangat terbuka dan jujur dengan keinginanku. Antara anugerah dan petaka bagi pria. Dan siang itu, aku merindu. Setelah ratusan kata-kata 'ku kirim untuk mas, sore hari pun akhirnya tiba. Mas sepertinya banyak pekerjaan karena tidak segera mene

Nothing but grateful

Tidak terasa ramadhan sudah mencapai setengah jalan lebih. Usiaku juga kini sudah melampaui seperempat abad. Hari-hariku ini dipenuhi penantian menuju ke libur lebaran. Berjumpa dengan sanak keluarga dan juga berkumpul lagi dengan mas. Di waktu-waktu begini, renunganku semakin intensif. Aku sangat bersyukur atas pencapaianku hingga saat ini. Aku beruntung memiliki keluarga dan teman-teman yang baik. Terkadang aku hanya fokus pada haters hehe tanpa sadar sungguh lebih banyak orang yang mendukungku, ikut bahagia atas bahagiaku, selalu menemaniku dalam susahku dan itu lebih dari cukup. Aku beruntung menjadi istri mas yang senantiasa menghangatkan jiwa setiap harinya. Aku sadar dunia bukan tempat selamanya. Tapi semoga segalanya ini terus mengalir dan bergulir abadi.

Menikahlah dengan Cinta

Salah satu pesan yang selalu aku sampaikan ke teman-temanku, terutama wanita, yang belum menikah adalah pilihlah pasangan dan menikahlah dengan dia yang engkau cintai. Pesan ini pula yang sedari dulu kubawa hingga menikah sekarang. Aku termasuk yang beruntung dalam cinta. Ibaratnya sekali jadi tanpa coba-coba. Hal ini juga yang membuatku agak "berlebihan" karena segala sesuatunya aku rasakan baru pertama dan dengan orang yang sama. الْØ­َÙ…ْدُ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ الَّØ°ِÙ‰ بِÙ†ِعْÙ…َتِÙ‡ِ تَتِÙ…ُّ الصَّالِØ­َاتُ Maka dari itu, jagalah dirimu kawan selagi belum waktunya hehe (pesan moral implisit yang akhirnya eksplisit). Balik lagi ke yang tadi. Aku juga dulu bingung siapakah kelak jodohku dan seperti apakah. Tapi ada satu yang 'kuyakini, aku tidak mau dijodohkan paksa. Aku sering mendengar berita-berita perjodohan yang sepertinya malah menyiksa. Untung saja orang tuaku bukan tipe seperti itu dan santai masalah jodoh jadi aku tidak begitu tertekan. Kawan, dalam memilih pasangan tent

Mengumpulkan Kerikil

Syahdan ada seorang raja yang sangat kuat, bijaksana, dan dicintai oleh rakyat. Suatu ketika sang raja memanggil seluruh prajuritnya. Beliau memerintahkan sebuah tugas yang amatlah membingungkan. Para prajurit diminta untuk menyusuri sungai pada malam hari yang gelap gulita tanpa penerangan apa pun. Kemudian, mereka diharuskan untuk mengumpulkan semua kerikil yang mereka injak saat berjalan melintasi sungai itu. Tibalah waktu malam hari. Semua prajurit bersiap untuk melewati sungai, tak lupa membawa dua buah kantong untuk menyimpan kerikil. Sebagian dari mereka merasa itu adalah tugas yang remeh dan konyol. Mereka menyusuri sungai tanpa mengambil satu kerikil pun. Mereka merasa bahwa sang raja takkan menghukum mereka karena tugas seperti itu.  Sebagian yang lain melaksanakan tugas sang raja. Namun mereka tidak mengambil semua kerikil yang mereka injak. Mereka hanya menjalankan perintah sang raja ala kadarnya yang penting mereka sudah mengerjakannya. Kantong yang mereka bawa ti

Sabar

Sabar biasa diartikan kuat menghadapi berbagai cobaan hidup. Sabar juga sering didefinisikan sebagai tidak marah. Sering juga dipakai untuk menyebut orang yang berkenan menunggu sesuatu yang idam-idamkan meski sekian lamanya  Tapi sabar itu bagaimana ya? Mas pernah bilang :   Sabar itu bukan hanya dinilai seberapa lama atau seberapa kuat kita menanti dan menjalani ujian tapi juga bagaimana attitude kita di dalam penantian itu. Noted .

Fatamorgana di Kota Hujan

Pagi itu mas terlihat sumringah. Air mukanya cerah. Sangat jauh dibandingkan aku yang sedari tadi menutup mata tak kuasa melawan seluruh "ujian" perjalanan. Tapi tentu aku tahu mengapa mas begitu gembira. "Akhirnya mas kesini", katanya. Ah, aku sudah menerka-nerka. Pastilah itu alasannya. Kota ini jadi saksi hidupnya. Empat tahun mas menimba ilmu disini. Setelahnya pun kota ini masih jadi persinggahan, juga kampung halaman. Buatku, kota ini juga luar biasa. Ada cerita indah yang pernah terjadi. Tapi tak akan kuceritakan hahaha.  Atau mungkin kapan-kapan :) Kota ini benar dinamai Kota Hujan karena hujanlah yang pertama kali menyambut kami. Sebelum angkutan kota bersorak-sorai, meliuk-liuk dengan lihai. Mas masih tenggelam dalam nostalgianya. Diceritakannya tempat-tempat yang selalu mas singgahi saat hidup di kota ini. "Mas akan menujukkan ini itu dan bla bla bla". Dengan semangat mas bercerita. Aku tersenyum. Tak terasa kami sudah sampai di hotel y

Intro

Hai semua! Dalam hidupku, banyak kisah yang penuh makna atau sekadar jadi pemanis usia yang semakin dewasa. Rasanya sayang kalau tidak dikenang dalam cerita. Lalu setelah menikah, bertambah lagi pengalaman yang aku alami. Ada suka, duka, kocak, dan romantis yang tercipta. Aku bergolongan darah A dan mas B. Aku tidak tahu, apakah ada hubungan antara golongan darah dan kepribadian tapi yang jelas kami sangat berbeda dalam segala hal. Tak terasa, semakin sering aku bercerita tentang itu. Maka wajarlah jika sebagian besar cerita kami akan ditemui di blog ini. Sekaligus juga bertujuan sebagai pengingat untukku sendiri mengenai lika-liku pernikahanku. Aku berharap semua rasa yang tercipta sampai sekarang akan terus terjaga hingga tua nanti. Selain itu, tulisan-tulisan di blog ini berisi segala cerita dan hikmah yang 'kupetik dari setiap hari-hari yang berlalu. Tentu semua hal tidak akan aku ceritakan dan tulisan-tulisan di blog ini tidak menggambarkan keseluruhan kehidupan prib

Pantai yang Telah Bernama

Pantai itu kini berbeda. Dia telah bernama. Namanya kurang cocok di telinga. Tapi apalah daya. Pantai itu masih penuh ombak. Seperti dulu. Aku ingat betul pernah bermain air di pinggirannya dengan baju merah. Saat itu mas menarik tanganku sambil berlari, lalu menjatuhkan aku di atas pasir. Aku bangkit. Lalu mas menjegal kakiku dengan lembut. Aku jatuh lagi. Anarkis sekali pikirku kala itu. Tapi ternyata sangat menyenangkan. Kekakuanku pudar. Kami lalu duduk bersampingan, menekuk lutut. Berhadapan dengan laut. Aku memejamkan mata. Mendengar debur ombak yang menggebu-gebu. Seperti irama jantungku. Mas berdiri, mengajakku menyusuri tepi pantai. 'Ku lihat ia bertelanjang kaki. Lengan kemeja merahnya digulung. Mas membawakan tasku. Debaran merah matahari menghempasnya. Tubuhnya berkilatan. Saat itu aku merasa semakin mencintainya. Pantai itu kini telah bernama. Kami tak memilikinya, namun kisahnya tetap tersimpan rapi dalam bilik sanubari. Dia abadi.

Bapak

Bapak itu pelengkap hidupku. Tak banyak cerita yang bisa ku kisahkan. Hanya terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiranmu. Dulu aku bersekolah TK dekat rumah. Bapak selalu mengantar jemput aku dengan sepeda mini. Aku duduk di belakang. Diberikannya bantalan empuk yang bisa aku duduki. Kakiku diikat di depan. Agar tidak masuk ruji-ruji. TK berlalu, berganti SD, berganti SMP,  dan aliyah. Saat itu aku masih teringat lambaian tangan bapak saat melepasku pergi naik Rosalia. Aku melihatnya dari kaca jendela bus yang berembun. Bapak tak berhenti melambaikan tangan saat bus melaju. Bapak terus melihat ke arahku, semakin maju ke depan dan ke depan untuk terus melihatku. Saat aku bilang akan menikah, bapak yang paling terharu. "Bapak mau punya anak lanang". Katanya. Selama ini bapak jadi minoritas di rumah. Hadirnya mas tentu menambah prosentase kaum adam. Sebelum resepsi bapak berpesan, "Pokoknya besok jangan menangis saat di acara. Tidak ada yang hilang

Mama

"Ima yakin?" Saat itu mama bertanya lagi padaku. Untuk ke sekian kalinya. Aku tahu mama sudah mengerti. Mama bangga aku punya pilihan hati dan mandiri. Sedari dulu mama selalu bilang saat aku kelak minta pilihkan pendamping : "Jangan. Pergaulan ima lebih luas. Mama taunya yang di sekitar sini aja. Ima kenal banyak orang. Sudah kemana-mana. Pilih yang ima suka" Rasanya aku bingung. Aku takut salah arah. Mana mungkin pilihan sepenting itu aku tentukan sendiri? Riskan. Aku masih belum mau sampai akhirnya aku menjatuhkan keputusan. Ku ceritakan pada mama. Secara panjang lebar dengan tiap detail penjelasan. Di sana mama tersenyum bangga. Aku sudah dewasa, katanya. Aku diboyong jauh setelah akad terjadi. Mama masih senyum penuh arti. Senang sekaligus sedih. Mama tentu tahu domisiliku kini jauh. Tapi tak apa, mama bisa ke sana. Kapanpun. Namun masalahnya, mama tak mau merepotkan aku. Maka, masih banyak harap kami bisa dekat bersatu. Seiring berjalannya

Tingkat Kepercayaan Tertinggi

Langit mungkin mendung tapi hati ini semoga selalu tercerahkan oleh cahaya keyakinan. Hidup terkadang melambung naik. Bisa juga tiba-tiba terperosok dalam jurang kesedihan dan hina. Dalam relung sepi, tengadah doa-lah yang paling sakti. Umat Islam punya senjata yang sudah teruji : iman dalam diri. Iman sejatinya adalah rasa percaya tak bersyarat. Kepercayaan itu terkadang tak bisa dijelaskan oleh logika. Percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, dengan bantuan-Nya, dan atas perintah-Nya.  Saat kerisauan menghampiri, iman akan mendatangkan kesejukan. Dengan iman, kita yang kecil ini bahkan punya harapan bahwa semua akan selesai dengan cerita-Nya, yang bahkan tak pernah terpikir oleh kita. Dengan iman, kita masih bisa ber-husnudzan ria dalam menjalani kehidupan Maka tingkat kepercayaan tertinggi seorang hamba adalah kepasrahan pada Tuhannya tanpa perlu bukti dan penjelasan. Badai pasti berlalu. Allah punya cerita terbaik. Catatan :  Ditulis di suatu sore

Santai Boleh, tapi...

Ketika aku ingin pergi ke suatu tempat, aku terbiasa merencanakannya matang-matang. Banyak hal aku siapkan : mulai dari transportasi, rute, pakaian, bawaan, dan lainnya. Tidak hanya bepergian. Segala kegiatan kecil maupun besar selalu aku rencanakan dengan baik. Hal itu yang membuat aku puas dan berusaha tampil prima dalam segala aktivitas. Suamiku adalah orang yang berkebalikan dengan aku. Mas bisa dikatakan lebih santai dan "woles". Aku juga punya banyak teman yang seperti itu dan kebanyakan pribadinya sangat menyenangkan. Sebagai orang yang apa-apa ingin "well-prepared", bergaul dengan orang-orang "santai" memberiku banyak "positive insight". Jujur, terlalu perfeksionis bisa membuat stress dan santai mampu menghindari itu. Mulailah aku hidup dengan lebih santai. Travelling yang biasanya membawa koper, aku cuma bawa satu ransel. Kondangan yang biasanya ribet, aku bikin simpel saja. Toh, sudah nikah juga, tidak perlu terlalu cantik di l

Rembulan Terakhir Malam Itu

Malam itu sudah menunjukkan pukul 11. Aku berdoa dan berharap malam akan panjang membentang. Aku dan mas merasa bingung menggantung. Tidur akan menghilangkan waktu bersama. Tapi besok mas harus melewati perjalanan lama. Lewat darat, laut, dan udara. Kembali bekerja demi membahagiakan aku. Mas menggenggam tanganku erat-erat. Aku tahu mas tak ingin kembali. Aku juga. Sepuluh hari ke belakang rasanya indah jua. "Dek, lihat ke jendela yuk. Lihat bulan". Suara lembut mas mengusik keheningan malam itu. Aku enggan beranjak. Hatiku remuk. Campur aduk. Entah sudah berapa bulir air mata ini keluar. Besok pagi, rindu ini akan melimpah ruah dan semakin mengakar. Besok pagi, kebersamaan kami akan terjeda sebentar. Aku melihat sudah pukul 1. Dengan berat hati aku mencoba untuk tidur karena besok pagi-pagi sekali kami sudah harus tiba di bandar udara. Batas kebersamaan kami hari itu. Tiba-tiba aku terbangun. Pukul 3 pagi. Aku menangis sesenggukan hingga subuh. Aku sedih, t

Taman Bunga Hati

Aku suka melihat foto bunga. Suka juga lihat foto orang di antara bunga-bunga. Elegan dan cantik. Itulah mengapa saat di sebelah Gumuk Pasir ada taman bunga, aku langsung berbinar-binar. Sebenarnya biasa saja. Tidak seperti kebun lavender di luar negeri, bukan juga seperti taman kembang Eropa di musim semi. Tapi, yang membuat spesial adalah bunga-bunganya ditanam berbentuk hati dan aku datang dengan pujaan hati :) Selepas lelah bermain pasir, aku menarik tangan mas menuju ke taman bunga itu. Suamiku dengan sigap mengikuti langkahku. Pasti mas tahu apa tugasnya setelah ini : memfoto aku. Sepanjang hidup bersama, memang aku yang hobi berfoto. Tiap momen akan aku abadikan. Tetapi, mas agak pemalu untuk hal ini. Mas tidak selalu mau diajak berfoto di tempat ramai. Mas memilih ber-selfie dibandingkan minta tolong orang asing memfotokan kami. Jadi biarlah urusan obyek foto ini jadi pekerjaan istrinya. Mayoritas yang ditanam di sana adalah bunga matahari. Ada juga jengger ayam dan bu