Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

Bungkusan Hati

Syahdan, ada seorang yang pembawaannya kasar dan galak. Pak dosenku, orang batak. Beliau suka marah-marah jika saat kuliah siswanya ribut. Beliau bilang punya sakit darah tinggi makanya tidak mau dengar kita berisik. Bisa pusing. Eh tapi beliau juga yang sering cerita bangga istrinya cantik dan dulu dia kejar-kejar terus nekat melamar meski sadar beliau lebih tidak punya apa-apa dibanding rivalnya. Beliau juga yang bilang tidak mau anak gadisnya sekolah jauh. Beliau juga yang pernah nangis terharu. Ada lagi kenalanku di kota lain. Hidupnya di kota orang-orang lembut, yang bicaranya pelan-pelan, hampir gak dengar. Dia juga lembut sekali kalau bicara, lembut sekali ketika berjalan, bergerak, dan 'ku bilang sih cukup ramah. Tapi pernah, dia cerita sesuatu tapi salah kemudian dikoreksi teman-temannya. Dia menggeleng tidak percaya. Dia cuma tersenyum, tidak marah. Dia tertawa sesekali tapi tidak pernah menerima masukan dari yang lain, dipikir pun tidak. Dia bilang bahwa di hatinya

Urusi Saja Urusanmu

Jangan terpancing judulnya ya hahaha. Baca dulu isinya. Insya Allah blog ini menjadi sarana sharing (karena banyak feedback positif dari teman-teman maka saya termotivasi untuk  terus menulis), curhat yang bisa diambil hikmahnya, bahan renungan dan juga pengingat untuk saya sendiri. Jadi, marilah kita mulai. Sejak sosmed jadi santapan sehari-hari, ada hobi baru yang saya lakukan jika melihat sebuah postingan, apa itu? Membaca komentar-komentar (komen) dari internet citizen (netizen). Netizen dari Indonesia sungguh kelewat kreatif, bisa menyuguhkan komentar yang sangat menarik, lucu, dan kadang provokatif. Saya sampai terbahak-bahak jika membaca komentar para netizen yang budiman itu. Namun, adakalanya saya sangat prihatin karena selain lucu-lucuan, hujat-menghujat pun jadi lebih mudah. Seringkali netizen-netizen itulah yang berkelahi di kolom komentar seorang selebgram, padahal yang memposting sama sekali tak menggubris. Apalagi sering kita dapati kalimat-kalimat di bawah ini :

Nasihat

Dulu aku tinggal di Sumatera bersama sebuah keluarga kecil. Sekarang juga kadang-kadang masih. Di sana aku diajarkan makna menasihati. Menasihati dengan santun itu bukan memarahi. Itu tanda cinta. Dengan begitu yang salah sebaiknya minta maaf, harus memperbaiki diri agar lebih baik. Yang benar tak boleh jumawa, tak boleh merasa dibela atau lebih disayang. Seperti itulah yang ditanamkan agar benih-benih keharmonisan muncul.  Bagiku, kasih sayang adalah ketika mau menasihati seseorang agar jelek yang sedikit jadi hilang dan kita jadi sempurna kebaikannya . Ihirrr. So sweet sekali.  Dulu aku meyakini bahwa semua orang bisa duduk dan bicara. Semua manusia bisa saling menasihati dan diskusi. Itu kan yang membedakan kita dengan makhluk lainnya. Kita punya akal. Jadi semua hal dan ketidakteraturan pasti bisa diatasi. Namun, ternyata tidak juga. Nasihat hanya mampu diterima oleh "gelas kosong" yaitu manusia yang merasa "fakir ilmu" dan ingin dipenuhi dengan untaia

Rencana Manusia vs Tuhan

Dua tahun yang lalu, di siang hari, saya sedang melakukan "kerja ikhlas" plus pamitan sama ibu-ibu bidan tersayang. Kerja ikhlas di sini bukan ga digaji, tapi karena saya sudah mengajukan resignation dan harus tetap bekerja dengan "hati ikhlas" hingga tanggal "break up" tiba 😣 Saya orang yang terencana dan suka berencana. Saat mulai bergabung di perusahaan milik Switzerland tsb saya berencana stay, berusaha sebisa mungkin dari junior supervisor menjadi senior, terus menaikkan jenjang karir. Tapi ternyata tidak. Training saja ga selesai dan semua itu saya sendiri yang menghentikan. Setahun kemudian saya belajar banyak. Belajar bahwa kekuatan terbesar adalah dari diri sendiri dengan mengisi lima panca indera dengan positivitas. Namun yang harus lebih diyakini adalah ada kekuatan lain yang melingkupi kita. Yang tak terlihat, seperti ikatan kovalen antar atom, namun lebih dahsyat lagi yaitu Qodarullah. Jika Dia sudah berkehendak maka tidak akan ada yang bis

Romantisme (Ekspektasi vs Realita)

Aku penikmat film pendek, film yang satu episode langsung habis. Kalau drama, buatku bener-bener time-consuming (karena aku selalu tidak sabaran liat lanjutannya hehe). Aku suka sekali nonton horror karena langsung bisa mengubah "suasana hati apapun" menjadi takut dan tegang. Yah, meski sering tidur di tengah cerita, tidak berani nonton sendiri dan kadang dilarang mas karena paranoid, sebenarnya horor masih jadi favoritku -,-. Besok pengen nonton horor ah di kosan.  Eh tapi dulu waktu umurku belasan dan belum punya KTP, aku suka sekali lihat film bernuasa roman. Indah gitu rasanya. Setelah itu, biasanya "wawasanku" jadi bertambah. "Wah besok pengen nikahannya outdoor di bukit". "Besok pengen dilamar pas ujan-ujan pake cincin berlian yang besar". Pernah lagi, aku liat film yang laki-lakinya jago main gitar atau piano. "Wah, pengen cari suami yang pinter musik". Kalau mungkin kayak Lalala Land. Apalagi kalo abis liat film kore

Semangat Bekerja

Pagi ini terasa lain. Jam masih menunjukkan pukul 7. Tapi aku sudah mandi, sudah makan dan beres-beres. Ya, suamiku berangkat kerja lebih awal. Sungguh, ditinggal lebih awal itu tidak mudah jika tidak biasa wkwk. Hari ini ada puncak acara perayaan Hari Lingkungan Hidup. Alhamdulillah, setelah sekian hari pak suami berangkat fajar pulang petang menyiapkan acara ini, hari ini semua akan usai dan normal lagi. Rasanya tidak tega melihat pak suami pulang berlelah-lelah. "Abis angkat-angkat", katanya singkat kemarin sore. "Gimana mas, ada berita apa di kantor?". "Ya begitulah sayang". Aku jadi gemas, kalau lelah pak suami jadi sedikit bicara wkwk.  Kerugian untukku juga karena lelah membuatnya mengantuk. Momen cerita-cerita sepulang kerja yang aku suka jadi hilang. Jadilah aku cuma diam di karpet mewarnai jurnal aktivitasku seorang diri. Aaaaa. Tapi sabarlah wahai ibu-ibu. Sesungguhnya semua itu untuk kita, demi menafkahi kita, bukankah begitu? Maka bersyukurla

Setelah Dua Puluh Satu Hari

Setelah 21 hari penuh dengan kerinduan, akhirnya aku dan suami bertemu lagi. Entah kenapa pertemuan ini seperti sinetron. Pesawatku delay selama 3.5 jam dan suamiku pun harus menunggu di bandara. Kesal sekali rasanya. Apalagi aku mendapatkan roti dari maskapai penerbangan sebagai kompensasi keterlambatan pesawat. Sungguh roti tidak bisa menggantikan waktu bertemu dua insan yang saling rindu.  Sesampainya di Sepinggan, segera aku ambil koperku dan menuju exit door. Hati ini rasanya deg-deg-an. Persis juga dengan apa yang suamiku bilang lewat pesan singkat, dia juga merasakannya. Aku pun berjalan sambil senyum-senyum dan tiba-tiba ada lelaki menghampiriku. Berkemeja biru muda, seperti warna jilbab yang kupakai. Ah, suamiku! Bandara terasa kosong hanya ada kita berdua. Setelah sekian lama tidak bertemu, rasanya sangat canggung. Persis seperti orang pacaran, bedanya adalah tentu yang ini berpahala. Lima detik dia menatapku sambil tersenyum. Aku pun masih tersipu dalam hati, hanya b

Pantai Kita

Kita suka pantai, yang tak ramai. Bahkan kita punya "pantai pribadi". Sebenarnya aku yang suka. Kau suka gunung. Semasa remaja kau suka muncak. Kau pernah bilang, setelah menikah ingin satu kali mengajakku naik gunung yang tinggi.  "Semua aku yang bawa atau sewa porter, kau bawa diri saja".  Tapi aku gak mau. Introvert seperti aku lebih suka mengurung diri di kamar dengan wifi.  "Naik helikopter saja, turunkan aku di puncak".  Balada gunung sudah terlupa, kisah pantai sekarang. Waktu itu sore-sore, naik motor berdua. Ke pantai. Tak ada niat sih, hanya jalan saja dan sampai kesana. Aku suka telanjang kaki injak-injak pasir lembut. Tapi aku tak mau berenang di lautnya. Terlalu banyak kandungan yang tak kuinginkan di air lepas itu. Sedangkan kau, kau menggendong tasku, melepas sepatumu, mendudukinya lalu memantauku. Melihat bajuku kotor kena pasir lalu lari-larian di pesisir, rupanya kau jadi candu. Kau juga jadi lari sambil menarik-narik tan

Cerita Satu Hari ini

Ada, suatu sore, seorang ibu memarahi anaknya yang mengadu karena dinakali oleh dengan anak lain. Anak itu tertunduk, menyesal mengadu. Besoknya anak itu tidak ikut bermain. Mengasingkan diri di pinggir playground. Ingin membalas temannya, tapi tidak ada kekuatan. Ada, suatu malam, seorang wanita mengadu kepada pasangannya karena dihina oleh orang lain. Pria itu malah kesal karena wanitanya berbicara panjang lebar. Semakin wanita itu mengadu, semakin pria itu bosan dan memarahi wanitanya. Sang wanita terdiam, tak berani lagi mengadu. Hari demi hari berusaha sembuh. Ada, suatu pagi, seorang siswa mengadu kepada gurunya karena dibully oleh teman-temannya. Gurunya acuh, ikut membully dia "sabarlah, mungkin kamu yang kurang sosialisasi". Murid itu sedih karena tambahan bullying yang menimpanya. Terkadang kita enggan berkorban "ikut bermasalah" dan malah meminta orang itu self-healing. Padahal menjadi tempat pengaduan merupakan simbol kepercayaan, kekuatan, d

Istri Curhat di Sosmed

Baca sampai habis ya. Suatu sore zaman dahulu kala, biasalah aku scroll-scroll status BBM. Aku punya teman yang hampir setiap hari membuat status curhatan, keluhan, marah, dan semua tentang masalah hidupnya di BBM. Malah kadang dia marah dengan anak balitanya pun dibikin status. "Suaminya gimana ya?", pikirku. Entah kenapa kalau sudah menikah segala sesuatu jadi diasosiakan ke suaminya. Walau mungkin isi statusnya bukan tentang suaminya. Terus sering sekali dia ngeluh lagi dan ngeluh lagi. Setiap lihat status dia eh lagi mengeluh. Karena kesal merasa dia itu "toxic person". Akhirnya aku delcon. Zaman status BBMku sudah berganti dengan instagram dan whatsapp story. Aku juga sering lihat ibu-ibu curhat lewat media itu. Kadang curhatannya gamblang tidak pakai kode-kode. Ada yang mengeluhkan gara-gara dihina sebagai ibu rumah tangga. Ada yang curhat capek dengan pekerjaan rumah. Atau ya cerita karena ditipu atau difitnah. Duh, aku berpikir lagi. Kok gitu ya, ke

Persiapan Menikah

Hal ini adalah yang paling terkenal tersering ditanyakan kepadaku. Apa ya hahaha Aku juga agak bingung. Tapi baiklah sekadar sharing saja. Ini versiku. Check this out! Aku gak punya persiapan khusus. Aku gak tau akan menikah secepat ini hehe. Suami melamar aku waktu aku lagi studi di Jerman. Aku tau mas mau ke rumah, mas bilang soalnya, tapi aku ga tau kalo bakal langsung fix! Tau-tau ibukku telp "Ma, yaudah nikah aja ya". Waduh aku jadi bingung kan. Akhirnya, bismillah deh. 1. Pertama yang ditetapkan adalah tanggal. Karena aku lagi di luar negeri, komunikasiku sama keluarga cuma by whatsapp hahaha. Urusan tanggal, keluarga mas menyerahkan sepenuhnya ke keluargaku. Jadilah keluarga besarku diskusi dan akhirnya diambil waktu 15 Maret untuk lamaran resmi dan 17 Maret untuk akad nikah. Kenapa diambil waktu yg berdekatan? Ada saudara yang akan menikah juga akhir Maret. Kemudian, untuk efisiensi waktu hehe. Rumah keluarga mas jauh sekali dari rumahku.  Jadi diambil jalan