Ketika aku ingin pergi ke suatu tempat, aku terbiasa merencanakannya matang-matang. Banyak hal aku siapkan : mulai dari transportasi, rute, pakaian, bawaan, dan lainnya. Tidak hanya bepergian. Segala kegiatan kecil maupun besar selalu aku rencanakan dengan baik. Hal itu yang membuat aku puas dan berusaha tampil prima dalam segala aktivitas.
Suamiku adalah orang yang berkebalikan dengan aku. Mas bisa dikatakan lebih santai dan "woles". Aku juga punya banyak teman yang seperti itu dan kebanyakan pribadinya sangat menyenangkan. Sebagai orang yang apa-apa ingin "well-prepared", bergaul dengan orang-orang "santai" memberiku banyak "positive insight". Jujur, terlalu perfeksionis bisa membuat stress dan santai mampu menghindari itu.
Mulailah aku hidup dengan lebih santai. Travelling yang biasanya membawa koper, aku cuma bawa satu ransel. Kondangan yang biasanya ribet, aku bikin simpel saja. Toh, sudah nikah juga, tidak perlu terlalu cantik di luar, cukup cantik di dalam. Masalah pendidikan yang biasanya penuh idealisme, aku jalani saja dengan sumringah. Semakin santai, semakin nyaman hidupku. Stress levelku berkurang. Tapi tentu saja, aku belum bisa 100% santai, paling baru 30-35% saja. Toh, mempersiapkan beberapa hal bukan suatu kesalahan, maka seringkali tetap aku lakukan.
Baru-baru ini aku menyadari pula, ada banyak orang yang terlalu santai banget dalam hidupnya dan dia sukses (duniawi). Aku salut dan terkadang ingin juga begitu.
Sampai akhirnya, aku tahu bahwa terlalu santai itu jebakan. Aku bisa melihat di sekitarku. Baru-baru ini aku juga mengalami sendiri. Ada hal yang tidak aku persiapkan dengan baik dan aku terjebak. Salah satu contoh kecilnya adalah waktu itu aku belum beli tiket kereta prameks. Karena gampang kan? Itu cepat, tidak sulit. Tidak mungkin kehabisan. Apalagi bisa dibeli lewat aplikasi KAI access. Aku terlena sampai akhirnya tinggal H-1. Waktu aku mau beli ternyata akun KAI-ku error. Aku cepat-cepat pergi ke stasiun tapi bagian penjualan sudah tutup. Aku menelpon temanku, menelepon CS KAI, menghubungi calo, dan tindakan lainnya yang menyulitkan. Beruntung di stasiun aku bertemu kawan sekolah. Dia mencoba membantuku tapi gagal. Bahkan temanku itu sampai minta tolong temannya yang lain untuk membantu aku dan tetap tidak bisa. Akhirnya, aku dapat tiket tapi bukan pada jam yang aku inginkan dan harus menunda kepulangan.
Aku sadar, aku salah. Andaikan aku lebih menyiapkannya, pastilah aku tidak perlu mengeluarkan energi dan biaya lebih banyak. Tak perlu juga aku membuat orang lain ikut sibuk dalam masalahku. Aku pun akhirnya berusaha tidak terlalu terlena dalam apapun.
Bisa jadi sih dengan santai segalanya lancar. Alhamdulillah. Tapi bisa jadi juga santai itu mengantarkan kita ke hal-hal yang tak terduga. Jika imbasnya ke diri sendiri sih tidak begitu merasa bersalah. Tapi ternyata, "kesantaian" bisa juga mendatangkan banyak masalah baru dan akhirnya kita tidak mampu menyelesaikannya sendiri. Alhasil, kita yang semula santai malah jadi buru-buru. Kemudian kita "terpaksa" untuk "memaksa" orang lain terlibat atau dalam arti kita jadi menyusahkan orang lain.
Orang santai banyak yang sukses. Orang terencana juga banyak yang sukses. Tapi sukses itu bukan ditentukan oleh itu. Sukses adalah gabungan dari usaha, doa, dan anugerah. Setidaknya itu yang aku yakini.
Santai bisa bikin hidup lebih nyaman. Tapi jangan sampai nyaman yang sementara itu jadi bumerang buat sekitar. Terlalu idealisme dalam rencana juga kurang baik. Manusia hanyak bisa berencana, Allah yang menentukan. Sebaiknya hidup seimbang :)
Komentar