Adalah kebiasaanku menaruh surat di sakumu diam-diam. Aku tahu waktu itu, 16 Juni, mas juga menanti surat dariku seperti biasanya. Aku sengaja tidak memberikannya. Akan kutuliskan semua di sini. Sekaligus memotivasi seluruh pasutri muda di dunia yang punya banyak rumah dan kampung halaman seperti kita.
Lebaran tahun ini kali kedua aku merayakannya dengan mas. Bukan seperti kemarin, kali ini kita mudik. Banyak orang di luar sana mendambakan punya pasangan yang asalnya jauh agar bisa mudik. Aku hanya tertawa melihat itu. "Tidak semudah itu, kakaaaaak". Kita adalah salah satunya, mas. Mudik kita selalu melibatkan empat kota dalam tiga pulau. Jika satu pulau lagi akan mendapatkan piring cantik, maka aku kan memecahkan piringnya. Aku akan berteriak keras lebih memilih tidak. Jauh-jauh hari sebelum lebaran, aku sudah risau memikirkan rute mudik kita yang aduhai. Solo-Lampung-Solo-Jogja-Magelang-Jogja-Solo : untukku, sedangkan mas : Balikpapan-Lampung-Solo-Jogja-Magelang-Jogja-Balikpapan. Sebagai manusia normal bergolongan darah A, banyak perhitungan matematika yang aku lakukan sembari memantau harga tiket kapal terbang yang semakin terbang tinggi. Belum lagi kuperkirakan resiko kesehatan yang akan kita hadapi. Tidak lupa kupersiapkan juga pakaian yang akan kita kenakan, tempat-tempat yang akan kita kunjungi, juga makanan kesukaan mas yang akan kuberikan di rumah kelak saat lebaran. Semua itu kulakukan sembari mengerjakan tugas-tugas kuliah. Untungnya aku disatukan dengan engkau, sang "B", sehingga membuat semuanya terasa lebih mudah.
Dua minggu tak terasa kita bersama. Kita berhasil melewati mudik ini dengan sehat dan bahagia. Saat itu aku merasa menjadi perempuan paling sempurna dalam hidup. Allah menjanjikan rezeki dalam ikatan suci. Rezeki kebahagiaan, rezeki kenyamanan batin, kesehatan, dan lainnya. Dimana kita tinggal, di situlah kita berjuang. Semoga Allah selalu menorehkan cerita indah di setiap sisa usia kita, kini dan nanti saat kita bersama selamanya.
Terima kasih, mas! Sampai berjumpa!
Komentar