Pagi itu mas terlihat sumringah. Air mukanya cerah. Sangat jauh dibandingkan aku yang sedari tadi menutup mata tak kuasa melawan seluruh "ujian" perjalanan. Tapi tentu aku tahu mengapa mas begitu gembira.
"Akhirnya mas kesini", katanya.
Ah, aku sudah menerka-nerka. Pastilah itu alasannya. Kota ini jadi saksi hidupnya. Empat tahun mas menimba ilmu disini. Setelahnya pun kota ini masih jadi persinggahan, juga kampung halaman. Buatku, kota ini juga luar biasa. Ada cerita indah yang pernah terjadi. Tapi tak akan kuceritakan hahaha. Atau mungkin kapan-kapan :)
"Akhirnya mas kesini", katanya.
Ah, aku sudah menerka-nerka. Pastilah itu alasannya. Kota ini jadi saksi hidupnya. Empat tahun mas menimba ilmu disini. Setelahnya pun kota ini masih jadi persinggahan, juga kampung halaman. Buatku, kota ini juga luar biasa. Ada cerita indah yang pernah terjadi. Tapi tak akan kuceritakan hahaha. Atau mungkin kapan-kapan :)
Kota ini benar dinamai Kota Hujan karena hujanlah yang pertama kali menyambut kami. Sebelum angkutan kota bersorak-sorai, meliuk-liuk dengan lihai. Mas masih tenggelam dalam nostalgianya. Diceritakannya tempat-tempat yang selalu mas singgahi saat hidup di kota ini. "Mas akan menujukkan ini itu dan bla bla bla". Dengan semangat mas bercerita. Aku tersenyum. Tak terasa kami sudah sampai di hotel yang nyaman, meski kamar kelas "deluxe" yang kami pesan ternyata lebih mirip "superior". Sebenarnya salah satu hobi "terselubung" kami adalah wisata hotel. Kami suka berpindah menginap dari satu hotel ke hotel lain dalam satu perjalanan liburan meski masih di kota yang sama. Lain kali akan aku ceritakan dengan detail tentang ini. Dengan hobi itu, jadi wajar jika kami selalu membandingkan satu penginapan dengan penginapan lain.
Keesokan harinya, matahari cerah mulai menyapa. Tentu sangat baik bagi kita untuk berjalan-jalan :) Tapi ternyata, kesibukan pula yang menyerang kami. Pagi hingga sore hari, aku terpaksa jadi seorang diri karena mas harus bertugas. Terpaksa aku membongkar isi google search dan maps. Mencari tahu destinasi apa yang bisa 'ku datangi seorang diri tanpa mati gaya hehe. Beberapa tujuan akhirnya kudapatkan. Aku menyusuri jalanan ramai yang penuh fatamorgana. Fatamorgana sungguhan! Maksudku, fatamorgana memang bukan sungguhan tapi benar ada. Bukan kata kiasan yang tersemat dalam puisi. Kau pasti ingat pernah melihat genangan air di jalan aspal saat cuaca terik. Ya, itu fatamorgana yang sesungguhnya. Aku melihatnya kala itu.
Sejenak aku berpikir : Banyak hal di dunia itu seperti fatamogana, bukan? Fatamorgana ini jadi pengingat bahwa tak semua yang bisa dilihat dengan mata merupakan fakta. Berita-berita yang kita lihat di media sosial maupun media cetak ternyata bukanlah yang sebenarnya. Contoh sebaliknya, kita tidak bisa melihat Tuhan, tapi bukan berarti Dia tak ada. Pun seperti hari-hari itu, aku berkelana seorang diri, bukan berarti mas tak tak peduli padaku. Banyak peran yang ada di hidupnya. I marry him as a single person with different roles. Mas hadir dalam hidupku dan membawa seluruh semestanya. Ya, seluruhnya. Semesta ini yang harus kuterima dan aku tidak keberatan. Aku orang asing yang kini menjadi bagian hidupnya bahkan prioritas utamanya. Terkadang aku merasa tak bisa membalas apa-apa yang sudah mas lakukan untukku. Hanya dukungan dan keceriaan lah yang bisa aku berikan. Aku tak mau jadi fatamorgana untuknya. Aku ingin selalu ada dan memang benar-benar ada.
Keesokan harinya, matahari cerah mulai menyapa. Tentu sangat baik bagi kita untuk berjalan-jalan :) Tapi ternyata, kesibukan pula yang menyerang kami. Pagi hingga sore hari, aku terpaksa jadi seorang diri karena mas harus bertugas. Terpaksa aku membongkar isi google search dan maps. Mencari tahu destinasi apa yang bisa 'ku datangi seorang diri tanpa mati gaya hehe. Beberapa tujuan akhirnya kudapatkan. Aku menyusuri jalanan ramai yang penuh fatamorgana. Fatamorgana sungguhan! Maksudku, fatamorgana memang bukan sungguhan tapi benar ada. Bukan kata kiasan yang tersemat dalam puisi. Kau pasti ingat pernah melihat genangan air di jalan aspal saat cuaca terik. Ya, itu fatamorgana yang sesungguhnya. Aku melihatnya kala itu.
Sejenak aku berpikir : Banyak hal di dunia itu seperti fatamogana, bukan? Fatamorgana ini jadi pengingat bahwa tak semua yang bisa dilihat dengan mata merupakan fakta. Berita-berita yang kita lihat di media sosial maupun media cetak ternyata bukanlah yang sebenarnya. Contoh sebaliknya, kita tidak bisa melihat Tuhan, tapi bukan berarti Dia tak ada. Pun seperti hari-hari itu, aku berkelana seorang diri, bukan berarti mas tak tak peduli padaku. Banyak peran yang ada di hidupnya. I marry him as a single person with different roles. Mas hadir dalam hidupku dan membawa seluruh semestanya. Ya, seluruhnya. Semesta ini yang harus kuterima dan aku tidak keberatan. Aku orang asing yang kini menjadi bagian hidupnya bahkan prioritas utamanya. Terkadang aku merasa tak bisa membalas apa-apa yang sudah mas lakukan untukku. Hanya dukungan dan keceriaan lah yang bisa aku berikan. Aku tak mau jadi fatamorgana untuknya. Aku ingin selalu ada dan memang benar-benar ada.
Komentar