Seperti biasa, perpisahan menyisakan kekosongan mendalam di hati. Lubang itu menganga, lebar, melompong, tak tertutup sebelum diisi oleh temu-temu di hari selanjutnya. Dengan gontai, aku berjalan masuk ke bandara. Sendirian. Meski bandara selalu ramai tapi kita semua pasti tahu bahwa ramai atau sepi itu adanya di dalam jiwa. Kita bisa merasa kesepian di tengah pasar malam. Pun, kita bisa merasa tenang dalam dekapan Tuhan saat sholat malam di gulita yang mencekam. Itulah perasaan. Aneh. Seperti pagi itu, baru saja aku bertemu, belum ada satu jam berpisah tapi sudah merasa berwindu. Aneh.
Karena hidup harus terus berjalan, ku lanjutkan langkahku lebih dalam ke bandara. Kutunjukkan e-ticket-ku kepada petugas. Segera aku mengantri mesin x-ray. Sudah kulepas jaket dan jam tanganku. Masih dengan gontai. Sambil memikirkan apa yang kira-kira sedang mas lakukan sekarang. Mungkin sedang menunggu penerbangan dengan teman-temannya. Beruntungnya mas karena pulang dan pergi beramai-ramai, tidak seperti aku. Setidaknya kesedihan bisa disembunyikan dalam tawa bersama yang lainnya. Dalam lamunanku ternyata aku terhenti di antrian cukup lama. Tanpa maju ataupun mundur. Kebetulan sepasang lansia di depanku cukup makan waktu. Mereka sedang menyiapkan barang-barangnya untuk dilewatkan ke mesin pemindai. Tidak mengapa. Aku sedang merenung dan tidak menunggu apapun. Tidak ada juga yang menungguku, berbeda saat berangkat dua hari yang lalu. Tapi sang nenek tersenyum padaku. "Duluan saja neng", katanya. Dia sibuk melepaskan ikat pinggang dan jam tangan laki-laki tua di sebelahnya, aku rasa suaminya. Suaminya pun dengan perlahan menaikkan kopernya ke mesin. Meletakkan jaketnya dan tas istrinya. Gerakan keduanya memang sudah melemah dan tidak sigap. Tapi ada binar-binar di kedua matanya mereka. Menikmati setiap waktu dengan ceria. Entah kemana mereka akan pergi dari bandara ini. Tapi berdua, itulah kekuatan mereka di perjalanan. Saling membantu, saling mengandalkan saat masing-masing telah banyak kekurangan fisik. Hatiku tiba-tiba hangat.
Sampailah aku di ruang tunggu bandara yang sempit. Takjubnya lagi, banyak sekali toko-toko yang ada. Penerbanganku masih cukup lama. Makanan dan minuman pasti akan jadi teman setia. Aku menunggu dan menunggu sambil memperhatikan orang-orang di sekitar. Hingga akhirnya, tibalah saat aku harus boarding. Setengah berlari aku tiba di baris antrian yang mulai panjang. Sedikit demi sedikit aku mulai maju. Tapi aku tertarik dengan dua orang di sebelahku. Sepasang laki-laki dan perempuan. Usianya mungkin 60 tahun. Yang membuatku tertarik adalah mereka berdua sama-sama menggunakan sepatu sport. Sang nenek masih terlihat cantik dengan make-up dan rambut panjang sebahu, lengkap dengan kacamata hitam. Wajahnya bersungut-sungut, "Ini kenapa ga diurutkan sih antrinya?". Dia berbicara sendiri. Protes. Sang kakek yang berbaris di belakangnya tertawa. Dipegangnya pundak sang nenek, "Gapapa, nanti kita bisa lari cepet-cepetan masuk ke pesawat". Mendengar itu sang nenek langsung tersenyum. Ah, aku jadi teringat suamiku.
Saat di pesawat, aku duduk dekat jendela. Aku bersebelahan dengan wanita paruh baya. Dia terus mengirim pesan kepada seseorang. Tanpa sengaja aku membacanya karena memang kursi kami sangat berdekatan. "Pah, mamah sudah masuk pesawat". Begitu isinya. Lalu dia seperti menunggu jawaban. Dua menit kemudian, dia menelepon seseorang dan mengatakan hal yang sama dengan di pesan singkat tadi. Aku jadi teringat suamiku. Aku juga selalu melakukan itu setiap bepergian tanpa mas.
Take off jadi puncak perasaanku tak terbendung. Aku terus melihat ke jendela sambil menumpahkan bulir-bulir hangat di pipi. Aku rindu suamiku. Kita masih muda dan membara. Tapi suamiku, aku mau besok kita begitu. Selalu begitu, seperti orang-orang yang aku temui hari ini. Aku tidak minta kita segera tua. Tapi jika nanti saatnya tiba, maka mari saling memiliki dan menjaga. Aku akan membantu memotong kukumu yang mulai menguning. Kau juga akan menggandengku ke teras saat cucu kita tiba. Berdua kita nikmati secangkir teh saat pagi hari sambil mengenang kisah kita dalam canda. Cinta tidak kadaluarsa oleh usia.
Take off jadi puncak perasaanku tak terbendung. Aku terus melihat ke jendela sambil menumpahkan bulir-bulir hangat di pipi. Aku rindu suamiku. Kita masih muda dan membara. Tapi suamiku, aku mau besok kita begitu. Selalu begitu, seperti orang-orang yang aku temui hari ini. Aku tidak minta kita segera tua. Tapi jika nanti saatnya tiba, maka mari saling memiliki dan menjaga. Aku akan membantu memotong kukumu yang mulai menguning. Kau juga akan menggandengku ke teras saat cucu kita tiba. Berdua kita nikmati secangkir teh saat pagi hari sambil mengenang kisah kita dalam canda. Cinta tidak kadaluarsa oleh usia.
Komentar