"Mau ke pantai dulu atau gumuk pasir?"
Pertanyaan mas menyadarkan ketakjubanku pada alam. Beberapa menit yang lalu aku dan mas sampai. Sekarang kami masih di parkiran. Mataku tak lepas-lepasnya melihat ke sekeliling. Aku memang mudah heran, juga mudah senang.
Gumuk Pasir adalah salah satu destinasi wisata di Yogyakarta berupa lahan pasir keabu-abuan. Lokasinya dekat Pantai Parangtritis. Ini bukan kali pertama aku ke sini. Dulu pernah. Bersama mas juga. Tapi seperti biasa, perjalanan berdua tetap terasa manis.
"Hmmm", aku sok berpikir. Bingung yang tak penting. Aku ingin ke "pantai kita" tapi kebun bunga di sebelah gumuk pasir juga menarik.
"Ke gumuk pasir dulu ya mas".
Aku dan mas berjalan ke sana. Sepi. Aku suka kesepian yang berkawan. Mas menggandengku yang kesulitan berjalan di antara pasir-pasir lembut. Tiap langkahku terus memasukkan pasir ke sepatu. Aku tak peduli. Di hadapanku itu hamparan pasir yang luas. "Gurun sahara" kata mas. Lalu mengapa aku harus khawatir dengan sepatu kotor?
Aku terus melihat ke sekitar. Ada kincir angin berjajar warna-warni. Ada kursi tinggi untuk melihat pemandangan dari ketinggian. Dan anehnya, aku melihat ayunan. Sangat eye-catching. Ada ayunan kokoh berada di gurun. Lucu. Aku berjalan ke arahnya. Ayunannya tinggi. Aku berusaha duduk di kursinya. Gagal. Aku terus mencoba. Gagal lagi. Kursinya bergoyang-goyang tidak seimbang, siap menumpahkan tubuhku kapan saja. Aku melihat ekspresi kengerian mas. "Pelan-pelan, dek", katanya. Aku tertawa. Sudah sering aku dikhawatirkan begitu. Hampir setiap hari.
Jiwa pejuang masih merasuk di aku. Akhirnya, aku berhasil duduk dan mengayunkan tubuhku. Mas pindah ke dekatku, dengan sibuknya memfoto dan membuat video. Pemandangan indah, pasir, angin, kesunyian, dan orang tersayang di sampingku. Bukankah kesatuan yang hebat? Aku benar-benar menikmati angin yang terus menerpa tubuhku.
Dari kejauhan, ternyata ada gadis kecil yang memperhatikanku. Mungkin usianya sekitar 5 tahun. Aku merasa dia juga ingin mencoba ayunan yang aku naiki.
"Mau naik ayunan juga?", tanyaku. Dia tidak menjawab tapi tersenyum dengan malu-malu.
"Sini, gantian sama tante". Aku menghentikan ayunanku dan turun. Dia mendekat. Aku membantunya naik ke ayunan. Sejurus kemudian dia tertawa-tawa bahagia telah berhasil memainkan ayunannya. Dua orang wanita datang dan ikut mengayunkan. Mungkin ibu dan kakaknya. Gadis kecil itu berteriak-teriak kegirangan. Sesekali menutup mata.
Entah mengapa aku terus memperhatikannya. Ikut merasakan keasyikan itu. Aku meyakini, ada tempat spesial dalam hati orang dewasa yang menyimpan jiwa kekanak-kanakan dengan sangat rapat. Jiwa itu akan keluar dalam kondisi khusus dan dengan orang tertentu. Pada suatu ketika, orang dewasa tentu ingin menjelma seperti anak-anak : bahagia, bebas, dan lepas. Seperti aku kala itu.
Tak kusadari mas menungguku menonton atraksi sang gadis kecil bermain ayunan. Entah berapa lama. Segera kutarik tangannya ke arahku yang sambil setengah berlari.
"Yuk mas ke taman bunga".
Siang itu mendung. Matahari masih ragu-ragu menyinari. Aku terus berlarian ke taman bunga dengan hati bungah. Aku tak lelah. Aku berharap matahari juga bahagia seperti aku, bersama mas mengukir sejarah.
Komentar