Syahdan, ada seorang yang pembawaannya kasar dan galak. Pak dosenku, orang batak. Beliau suka marah-marah jika saat kuliah siswanya ribut. Beliau bilang punya sakit darah tinggi makanya tidak mau dengar kita berisik. Bisa pusing. Eh tapi beliau juga yang sering cerita bangga istrinya cantik dan dulu dia kejar-kejar terus nekat melamar meski sadar beliau lebih tidak punya apa-apa dibanding rivalnya. Beliau juga yang bilang tidak mau anak gadisnya sekolah jauh. Beliau juga yang pernah nangis terharu.
Ada lagi kenalanku di kota lain. Hidupnya di kota orang-orang lembut, yang bicaranya pelan-pelan, hampir gak dengar. Dia juga lembut sekali kalau bicara, lembut sekali ketika berjalan, bergerak, dan 'ku bilang sih cukup ramah. Tapi pernah, dia cerita sesuatu tapi salah kemudian dikoreksi teman-temannya. Dia menggeleng tidak percaya. Dia cuma tersenyum, tidak marah. Dia tertawa sesekali tapi tidak pernah menerima masukan dari yang lain, dipikir pun tidak. Dia bilang bahwa di hatinya yakin kalau dia yang benar. Sampai sekarang.
Ada lagi pak dosenku yang sekarang sudah purna jabatan. Aku tidak tahu dia suku apa. Orangnya tinggi. Kalau bicara keras juga dan maaf sedikit kurang jelas karena usia senja. Pernah suatu hari istrinya ikut ke kampus dan beliau gandeng kemanapun. Beliau pernah bilang kepada kami, "Saya sudah janji tidak akan melepas genggaman tangan ini mulai awal menikah sampai selamanya". Dan terbukti.
Di tempat lain ada lagi seorang ibu asuh paruh baya. Dia punya anak asuh, anak yatim dan piatu banyak. Terkenal dermawan sampai ke penjuru kota. Suatu saat anak asuhnya membawa secarik kertas tagihan sekolah dan ibu itu berkata "Duh, bayaran apa lagi ini. Kemarin kan sudah minta" sambil merengut. Anak itu diam kemudian pamit. Jadi kecil sekali hatinya tapi kemudian berusaha dibesarkan. Anak itu bertekad, "Aku harus sukses, aku mau pergi dari tempat ini".
Satu lagi, seorang ibu biasa. Dia kalau berbicara bisa lantang, suaranya keras, dan panjang. Aku pernah protes di hati kenapa ya dia tidak halus lembut seperti ibunya si anu dan si anu. Eh suatu hari para tetangga berkumpul di depan gang. Bergosip. Aku iseng curi dengar sambil lalu. Satu ibu bicaranya super lembut tetapi sedang nyinyir dan nyindir. Ada juga yang bilangnya sopan dan pelan tapi ternyata sedang ghibah atau memfitnah. Aku gak tahu. Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa bicara dengan halus dan lembut itu bukan patokan orang itu baik. Bukan cara bicaranya yang paling penting tapi kualitas dan isi pembicaraannya, wataknya, juga sikapnya.
Jadi teringat tulisan di bio instagram adikku, "Tidak ada yang selembut dan sekeras hati". Quote itu seratus persen benar. Hati merupakan segumpal darah yang menentukan kualitas seorang insan. Namun, hati adalah bagian terdalam manusia. Lembutnya hati bisa berselimut api dan prahara atau pun sebaliknya, kekakuan dan kerasnya malah terbungkus sifat lunak. Maka jangan buru-buru menilai. Kenalilah seseorang itu sedalam-dalamnya hingga kau tahu isi bungkusan yang sesungguhnya.
Komentar