Hari ini aku merenungi sebuah foto display bb messenger. Kenapa aku bilang merenungi? Karena aku tidak hanya melihat tapi juga berpikir secara mendalam. Seseorang yang biasanya terlihat dingin dan pendiam langsung berubah ceria ketika tersenyum. Matanya berbinar bagai bintang di malam hari. Air mukanya cerah. Pandangannya seperti tertuju padaku, yang sedang melihatnya. Dia memberi filter di fotonya sehingga terlihat lebih warm. Aku menyukainya. Menyukai senyum itu.
Sewaktu di sekolah menengah, ada suatu peristiwa menimpa diriku. Temanku pernah menjauhiku karena dia merasa aku telah mengambil seluruh temannya. Wow, seluruh temannya. Hebat sekali aku. Tapi sayangnya itu tidak benar. Aku tidak pernah berniat "mengambil" teman orang lain plus aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku dan temanku itu menjadi jarang bicara. Dia terus menjauhiku. Saat itu, masa sekolah menengah menjadi tidak menarik lagi. Berangkat menjadi malas. Aku bergolongan darah A yang menyukai harmoni. Maka untuk kasus ini, daripada masalahnya semakin kusut lebih baik aku mengalah dan diam. Minggu ke minggu masih begitu. Hingga suatu ketika saat matahari sepenggalahan naik, aku berpapasan dengannya di depan kelas dan dia tersenyum. Senyum yang tulus. Semua memoriku tentang kejadian minggu-minggu lalu sudah terhapus. Tak ada apa-apa lagi di antara kami kecuali persabahatan yang terus terpelihara.
Semasa kuliah aku mempunyai seorang dosen yang killer. Beliau seorang profesor yang cerdas dan berkarakter kuat. Jika sedang kuliah dengan beliau aku rasanya cuma debu di jendela. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Pintar, lulusan luar negeri, risetnya banyak, kritis, kuat, dan sifat-sifat baik yang lain. Profesorku itu juga sering menekankan bahwa benar dan salah itu jelas, tidak ada yang abu-abu. Prinsipnya itu membawa mahasiswanya jadi selalu salah. Walaupun aku selalu dapat A di setiap mata kuliah yang beliau ampu, tapi aku sangat mengagumi sekaligus takut sekali dengannya. Suatu hari, aku pergi ke bank untuk membayar uang wisuda. Aku mengantri di kursi tunggu. Pandanganku kemana-kemana untuk membunuh lamanya waktu. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada pintu bank yang terbuka dan tadaaaa, dosenku itu masuk ke dalam. Kami bertatapan sedetik. Aku benar-benar mati gaya. Aku harus bagaimana Ya Allah. Ibu dosen itu kemudian duduk di sampingku. Bertambah lagi beban hidupku. Leherku rasanya kaku tapi aku harus menyapanya, sebagai mahasiswa yang baik. Dengan kepala serasa berubah menjadi beton aku menengok ke samping dan tersenyum, menyapa beliau. Apa yang kemudian beliau lakukan? Beliau membalas tersenyum. Sangat manis bagai melon madu. Beliau bahkan ingat namaku "Kamu Husna ya? Sudah sampai mana skripsinya?". Saat itu bank terasa kosong hanya ada aku dan dosenku itu. AC yang dingin, tidak membekukan suasana. Kami bahkan kemudian mengobrol. Aku tertawa kecil melihat gayanya mengomentari teller-teller yang tampan. Terima kasih senyuman.
Senyum itu sangat luar biasa. Tidak salah jika senyum merupakan ibadah yang paling mudah. Ayo biasakan tersenyum :)
Smile is the shortest distance between two people.
Smile is the shortest distance between two people.
Komentar