Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Pantai yang Telah Bernama

Pantai itu kini berbeda. Dia telah bernama. Namanya kurang cocok di telinga. Tapi apalah daya. Pantai itu masih penuh ombak. Seperti dulu. Aku ingat betul pernah bermain air di pinggirannya dengan baju merah. Saat itu mas menarik tanganku sambil berlari, lalu menjatuhkan aku di atas pasir. Aku bangkit. Lalu mas menjegal kakiku dengan lembut. Aku jatuh lagi. Anarkis sekali pikirku kala itu. Tapi ternyata sangat menyenangkan. Kekakuanku pudar. Kami lalu duduk bersampingan, menekuk lutut. Berhadapan dengan laut. Aku memejamkan mata. Mendengar debur ombak yang menggebu-gebu. Seperti irama jantungku. Mas berdiri, mengajakku menyusuri tepi pantai. 'Ku lihat ia bertelanjang kaki. Lengan kemeja merahnya digulung. Mas membawakan tasku. Debaran merah matahari menghempasnya. Tubuhnya berkilatan. Saat itu aku merasa semakin mencintainya. Pantai itu kini telah bernama. Kami tak memilikinya, namun kisahnya tetap tersimpan rapi dalam bilik sanubari. Dia abadi.

Bapak

Bapak itu pelengkap hidupku. Tak banyak cerita yang bisa ku kisahkan. Hanya terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiranmu. Dulu aku bersekolah TK dekat rumah. Bapak selalu mengantar jemput aku dengan sepeda mini. Aku duduk di belakang. Diberikannya bantalan empuk yang bisa aku duduki. Kakiku diikat di depan. Agar tidak masuk ruji-ruji. TK berlalu, berganti SD, berganti SMP,  dan aliyah. Saat itu aku masih teringat lambaian tangan bapak saat melepasku pergi naik Rosalia. Aku melihatnya dari kaca jendela bus yang berembun. Bapak tak berhenti melambaikan tangan saat bus melaju. Bapak terus melihat ke arahku, semakin maju ke depan dan ke depan untuk terus melihatku. Saat aku bilang akan menikah, bapak yang paling terharu. "Bapak mau punya anak lanang". Katanya. Selama ini bapak jadi minoritas di rumah. Hadirnya mas tentu menambah prosentase kaum adam. Sebelum resepsi bapak berpesan, "Pokoknya besok jangan menangis saat di acara. Tidak ada yang hilang

Mama

"Ima yakin?" Saat itu mama bertanya lagi padaku. Untuk ke sekian kalinya. Aku tahu mama sudah mengerti. Mama bangga aku punya pilihan hati dan mandiri. Sedari dulu mama selalu bilang saat aku kelak minta pilihkan pendamping : "Jangan. Pergaulan ima lebih luas. Mama taunya yang di sekitar sini aja. Ima kenal banyak orang. Sudah kemana-mana. Pilih yang ima suka" Rasanya aku bingung. Aku takut salah arah. Mana mungkin pilihan sepenting itu aku tentukan sendiri? Riskan. Aku masih belum mau sampai akhirnya aku menjatuhkan keputusan. Ku ceritakan pada mama. Secara panjang lebar dengan tiap detail penjelasan. Di sana mama tersenyum bangga. Aku sudah dewasa, katanya. Aku diboyong jauh setelah akad terjadi. Mama masih senyum penuh arti. Senang sekaligus sedih. Mama tentu tahu domisiliku kini jauh. Tapi tak apa, mama bisa ke sana. Kapanpun. Namun masalahnya, mama tak mau merepotkan aku. Maka, masih banyak harap kami bisa dekat bersatu. Seiring berjalannya

Tingkat Kepercayaan Tertinggi

Langit mungkin mendung tapi hati ini semoga selalu tercerahkan oleh cahaya keyakinan. Hidup terkadang melambung naik. Bisa juga tiba-tiba terperosok dalam jurang kesedihan dan hina. Dalam relung sepi, tengadah doa-lah yang paling sakti. Umat Islam punya senjata yang sudah teruji : iman dalam diri. Iman sejatinya adalah rasa percaya tak bersyarat. Kepercayaan itu terkadang tak bisa dijelaskan oleh logika. Percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, dengan bantuan-Nya, dan atas perintah-Nya.  Saat kerisauan menghampiri, iman akan mendatangkan kesejukan. Dengan iman, kita yang kecil ini bahkan punya harapan bahwa semua akan selesai dengan cerita-Nya, yang bahkan tak pernah terpikir oleh kita. Dengan iman, kita masih bisa ber-husnudzan ria dalam menjalani kehidupan Maka tingkat kepercayaan tertinggi seorang hamba adalah kepasrahan pada Tuhannya tanpa perlu bukti dan penjelasan. Badai pasti berlalu. Allah punya cerita terbaik. Catatan :  Ditulis di suatu sore

Santai Boleh, tapi...

Ketika aku ingin pergi ke suatu tempat, aku terbiasa merencanakannya matang-matang. Banyak hal aku siapkan : mulai dari transportasi, rute, pakaian, bawaan, dan lainnya. Tidak hanya bepergian. Segala kegiatan kecil maupun besar selalu aku rencanakan dengan baik. Hal itu yang membuat aku puas dan berusaha tampil prima dalam segala aktivitas. Suamiku adalah orang yang berkebalikan dengan aku. Mas bisa dikatakan lebih santai dan "woles". Aku juga punya banyak teman yang seperti itu dan kebanyakan pribadinya sangat menyenangkan. Sebagai orang yang apa-apa ingin "well-prepared", bergaul dengan orang-orang "santai" memberiku banyak "positive insight". Jujur, terlalu perfeksionis bisa membuat stress dan santai mampu menghindari itu. Mulailah aku hidup dengan lebih santai. Travelling yang biasanya membawa koper, aku cuma bawa satu ransel. Kondangan yang biasanya ribet, aku bikin simpel saja. Toh, sudah nikah juga, tidak perlu terlalu cantik di l

Rembulan Terakhir Malam Itu

Malam itu sudah menunjukkan pukul 11. Aku berdoa dan berharap malam akan panjang membentang. Aku dan mas merasa bingung menggantung. Tidur akan menghilangkan waktu bersama. Tapi besok mas harus melewati perjalanan lama. Lewat darat, laut, dan udara. Kembali bekerja demi membahagiakan aku. Mas menggenggam tanganku erat-erat. Aku tahu mas tak ingin kembali. Aku juga. Sepuluh hari ke belakang rasanya indah jua. "Dek, lihat ke jendela yuk. Lihat bulan". Suara lembut mas mengusik keheningan malam itu. Aku enggan beranjak. Hatiku remuk. Campur aduk. Entah sudah berapa bulir air mata ini keluar. Besok pagi, rindu ini akan melimpah ruah dan semakin mengakar. Besok pagi, kebersamaan kami akan terjeda sebentar. Aku melihat sudah pukul 1. Dengan berat hati aku mencoba untuk tidur karena besok pagi-pagi sekali kami sudah harus tiba di bandar udara. Batas kebersamaan kami hari itu. Tiba-tiba aku terbangun. Pukul 3 pagi. Aku menangis sesenggukan hingga subuh. Aku sedih, t

Taman Bunga Hati

Aku suka melihat foto bunga. Suka juga lihat foto orang di antara bunga-bunga. Elegan dan cantik. Itulah mengapa saat di sebelah Gumuk Pasir ada taman bunga, aku langsung berbinar-binar. Sebenarnya biasa saja. Tidak seperti kebun lavender di luar negeri, bukan juga seperti taman kembang Eropa di musim semi. Tapi, yang membuat spesial adalah bunga-bunganya ditanam berbentuk hati dan aku datang dengan pujaan hati :) Selepas lelah bermain pasir, aku menarik tangan mas menuju ke taman bunga itu. Suamiku dengan sigap mengikuti langkahku. Pasti mas tahu apa tugasnya setelah ini : memfoto aku. Sepanjang hidup bersama, memang aku yang hobi berfoto. Tiap momen akan aku abadikan. Tetapi, mas agak pemalu untuk hal ini. Mas tidak selalu mau diajak berfoto di tempat ramai. Mas memilih ber-selfie dibandingkan minta tolong orang asing memfotokan kami. Jadi biarlah urusan obyek foto ini jadi pekerjaan istrinya. Mayoritas yang ditanam di sana adalah bunga matahari. Ada juga jengger ayam dan bu

Kisah Kupu-kupu dan Daun

Alkisah, ada sebuah daun yang jatuh cinta dengan kupu-kupu. Daun itu tergantung pada sebuah pohon tinggi, rimbun, dan berduri. Pertama kali daun itu melihat si kupu-kupu adalah saat temaram sore. Kupu-kupu itu terbang dengan anggun mengelilingi pohon mencari jalan pulang. Semakin malam, semakin cantik sang ratu kupu-kupu disinari sinar rembulan. Kupu-kupu itu ternyata tahu dirinya diperhatikan. Dia tersipu kegirangan. Rupanya kupu-kupu itu juga menyukai si daun yang tebal, kokoh, dan ramah. Daun yang tiap angin datang, tak henti-hentinya menari dengan suka hati. Daun yang dengan sigap melindungi si batang, ranting, dan dedurian saat hujan dan terik matahari. Setiap melihatnya, kupu-kupu semakin cinta. Maka, setiap pagi dihinggapinya sang daun yang hijau berkilatan. Sekadar bercengkrama atau berbagi suka duka. Dengan susah payah, kupu-kupu menggapai daun yang tinggi. Kadang pula duri-duri rantingnya melukainya tapi dia tidak putus asa untuk bertemu dengan sang daun. Tak terasa semakin

Gumuk Pasir

"Mau ke pantai dulu atau gumuk pasir?" Pertanyaan mas menyadarkan ketakjubanku pada alam. Beberapa menit yang lalu aku dan mas sampai. Sekarang kami masih di parkiran. Mataku tak lepas-lepasnya melihat ke sekeliling. Aku memang mudah heran, juga mudah senang. Gumuk Pasir adalah salah satu destinasi wisata di Yogyakarta berupa lahan pasir keabu-abuan. Lokasinya dekat Pantai Parangtritis. Ini bukan kali pertama aku ke sini . Dulu pernah. Bersama mas juga. Tapi seperti biasa, perjalanan berdua tetap terasa manis. "Hmmm", aku sok berpikir. Bingung yang tak penting. Aku ingin ke "pantai kita" tapi kebun bunga di sebelah gumuk pasir juga menarik. "Ke gumuk pasir dulu ya mas". Aku dan mas berjalan ke sana. Sepi. Aku suka kesepian yang berkawan. Mas menggandengku yang kesulitan berjalan di antara pasir-pasir lembut. Tiap langkahku terus memasukkan pasir ke sepatu. Aku tak peduli. Di hadapanku itu hamparan pasir yang luas. "Gurun s

Jangan Berubah Meski yang Lain Tak Sama

"Jangan berubah meski orang lain tak begitu. Lebih baik memberi lebih." Mungkin seperti itulah intisari percakapanku dengan mas sore itu. Setelah sebelumnya aku curhat panjang lebar mengenai "komitmen" dan "manner" yang selalu ku pegang teguh. Mati listrik pun tak menghalangi ceritaku. Ya, pada siapa lagi aku mengadu selain pada Allah dan masku. Suamiku ini termasuk yang pinter "momong" aku. Betapa banyak curhatan yang selalu aku sampaikan setiap harinya, tapi mas selalu mendengarkan dengan antusias. Aku sungguh mengapresiasi. Meskipun setelahnya kadang aku berpikir, "Tadi ngapain ya kayak gitu aku ceritain ke mas? Wkwkwk". Sore itu aku bercerita banyak hal. Tentang bagaimana bisa orang "woles" menyerobot antrian. Bagaimana gampangnya orang buang sampah sembarangan. Bagaimana mudahnya orang tidak konfirmasi saat belum bisa memenuhi janji. Sebelumnya aku juga pernah bediskusi bagaimana bisa orang berkata kasar dan berkomentar