Kata suamiku, skill memasakku berkembang dengan pesat. Setelah enam tahun pernikahan, akhirnya dia baru mengakui dengan tersirat -namun jelas- bahwa di awal pernikahan, rasa masakanku tidak enak.
Sebenarnya aku juga sadar, tapi sedari dulu mas tidak pernah komplain. Maka selagi masakanku “edible” maka tidak ada masalah hehe. Tapi dari tahun ke tahun, aku merasa masakanku semakin baik. Dari segi rasa, proporsi dan juga kompleksitas -meski belum sebaik masakan ibuku. Skill memasak ternyata tidak bisa diturunkan dari generasi ke generasi. Walaupun begitu, pembelaanku atas keadaan ini adalah kemampuan memasak sebenarnya dipengaruhi oleh adat istiadat, gaya hidup, dan prioritas hidupku sedari dulu.
Waktu TK, aku selalu juara kelas. Begitu pun SD dan SMP. Bahkan ada wacana aku akan dinaikkan satu tingkat karena sudah bisa mengikuti pelajaran dengan sangat baik. Maka saat itu, aku hanya berkutat dengan pelajaran, les, ekskul dan bimbingan olimpiade. Aku tidak pernah diberikan rutinitas dan tugas harian dalam mengurus rumah. Aku hanya belajar menyapu dan mencuci sepatuku sendiri. Ibuku seorang pedagang dan selalu ada ART di rumah kami yang sederhana. Meski ibuku memasak setiap hari, aku sangat jarang mengasah skill itu. Mungkin hanya sesekali memperhatikan dan membantu.
Saat SMA, aku tinggal di asrama. Aku punya tugas sehari-hari yang padat. Aku juga mencuci piring, membersihkan kasur, dan mencuci bajuku sendiri. Urusan makan? Ada dapur asrama yang menyediakan makanan pagi, siang dan sore. Saat kuliah pun sama. Aku menjadi mahasiswa di prodi dengan praktikum yang padat. Kos-ku pun tidak difasilitasi dapur umum dengan peralatan lengkap. Setiap hari aku membeli makanan di warung-warung dekat kos.
Maka, kemampuan memasakku belum terasah. Bukannya tidak bisa memasak, tapi aku memang belum terbiasa. Beruntungnya, kini aku “dipaksa” untuk memasak untuk anakku karena beberapa pertimbangan. Beruntungnya pula, sedari dulu suamiku tidak menuntutku untuk memasak ini itu. Beruntungnya lagi, mertuaku tidak pernah menempatkanku di situasi “uji kompetensi memasak”.
Meski begitu, semoga kemampuan memasakku semakin baik— hingga kelak akan dirindukan anak-anakku saat mereka besar nanti 😄
Komentar