Pagi ini dimulai dengan pikiran yang menumpuk. Tugas A, B, C, dan D seakan berdebat untuk menentukan mana dulu yang harus dikerjakan. Tapi dalam kesibukan ini, aku berhenti sejenak. Tentu tidak salah memikirkan sesuatu yang aku suka. Suamiku. Sesaat aku teringat perkataan adikku (adik ipar), "Mbak, kenapa mau sama kakak?" Yang entah berapa kali dia tanyakan. Juga perkataan indung (nenek suamiku) 3 tahun silam, "Kok kamu mau, kamu kan putih". Diriku merasa geli dan selalu tertawa dengan pertanyaan semacam itu. Emang kenapa ya wkwk. Ada apa dengan mas sehingga keluarganya pun seakan ragu jika sampai hari ini kami telah berhasil hidup bersama. Aku tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaan itu. Tapi kini pikiranku melayang ke belasan tahun lalu saat pertama kali aku bertemu dengannya. Jadi, kenapa ya aku mau menikah dengan mas?
Aku besar dan lahir di ujung bawah Pulau Sumatra. Aku bukanlah suku asli daerah ini tapi kakek nenekku sudah bertransmigrasi ke sini sejak tahun 1960-an. Aku selalu bingung jika ditanya, "Kamu orang apa?" karena sungguh wajah, darah campuran, dan tempat tinggalku sangat berbeda. Orang apakah aku tergantung si penanya menganut asas semacam ius soli atau ius sanguinis. Tergantung pula kedekatan kami. Jika kami cukup akrab atau orang itu benar ingin tahu, aku akan sudi menjelaskannya bak luas persegi panjang. Tapi jika sekadar basa basi, akan kujawab semauku. Yang jelas aku pribumi asli Indonesia. Lulus SMP, orang tuaku mengirimku ke sekolah asrama di Jawa Tengah. Dengan gagah berani aku berangkat ke sana. Tak ada rasa takut sedikitpun saat itu. Entah kenapa. Padahal perjalanannya memakan waktu sehari semalam penuh alias kurang lebih 24 jam dengan bus, termasuk menyebrang laut selama 3 jam. Aku selalu membayangkan serunya satu kelas dengan sesama perempuan. Semuanya perempuan. Meski kelas laki-laki akan bersebelahan tapi di dalam kelas, selama pembelajaran, pasti tidak ada rasa canggung. Tak perlu memikirkan penampilan. Kami akan pulang ke asrama bersama-sama dan becanda dari pagi hingga petang. Keasyikan dan keseruan selalu menyeruak di benakku. Aku tak pernah tahu ternyata perjalanan itu akan memberikan sesuatu yang berbeda dari yang aku bayangkan.
Setelah tes dan menyelesaikan administrasi, sah sudah aku menjadi siswi madrasah aliyah. Teman-teman sekamarku sungguh asyik. Kami berduapuluh empat dalam satu kamar besar. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan mereka, juga dengan bahasa yang mereka pakai. Di sekolah, aku masih menyelesaikan ospekku. Kami berbaris di depan gedung workshop. Di situ lah aku tahu semua teman seangkatanku yang mengambil program studi yang sama. Iya, semua. Laki-laki dan perempuan. Di situ aku melihat mas, berbaris, berkumpul dengan teman-temannya. Aku melihatnya sambil lalu karena mereka semua terlihat sama. Tak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Tak ada yang kukenal. Tapi selalu terbesit wajah angkuh mas kala itu. Melihatnya, tentu aku tidak jatuh cinta. Apalagi pada pandangan pertama. Tidak pula pada pandangan-pandangan selanjutnya. Yang kutahu, mereka segerombolan yang semestinya kuhindari karena peraturan asrama. Aku benar-benar tidak menyangka, kelak mas akan jadi bagian terpenting di duniaku.
Komentar