Mimi, disebut juga belangkas, adalah hewan purba yang telah ada di dunia sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka hidup di perairan dangkal dan pantai mangrove. Kelangkaannya membuat petinggi lingkungan hidup negara kita menciptakan aturan untuk melindunginya. Dalam peribahasa Jawa, mimi lan mintuno artinya cinta sejati. Mimi sering ditemukan berpasangan dan termasuk hewan monogami. Mimi-mintuna disebut-sebut sebagai gambaran kelanggengan pasangan suami istri.
Gambaran mimi dan mintuna sangat berkesan untukku. Tapi, dengan siapa aku menikah dan apakah akan bahagia seperti mimi dan mintuna, tidak pernah terbesit di pikiranku 13 tahun yang lalu. Aku hanya berdoa agar diberikan kesehatan dan kelancaran pada studiku di madrasah aliyah. Banyak pengorbanan yang tercipta selama aku pergi. Aku tidak terlahir dari keluarga patriarki kolot sehingga bisa bersekolah sedemikian jauhnya. Orang tuaku memang bukan berprofesi di bidang pendidikan namun mereka berpikiran terbuka. Aku mungkin tidak disekolahkan di sekolah terbaik. Aku mungkin tidak dipilihkan sekolah dengan kualitas nomor wahid. Tapi inilah hal terbesar yang orang tuaku bisa lakukan untukku. Mereka tidak pernah memikirkan diri sendiri, segala yang mereka punya selalu diberikan untuk anak-anaknya. Aku boleh kekurangan, tapi anakku jangan. Begitulah prinsip ibuku. Apa yang akhirnya kudapatkan setelah puluhan tahun kemudian, tentu karena keikhlasan yang mereka berikan. Itu yang paling aku syukuri hingga saat ini. Karena perjalananku ke Pulau Jawa ternyata menyambutku dengan kisah yang mengubah caraku menjalani hidup.
Aku 'menikmati' satu semester penuh sebagai santriwati yang baik. Aku sungguh takut melanggar peraturan yang sebenarnya tidak terlalu ketat. Tapi darah "golongan A" di tubuhku tak pernah merayuku untuk lalai. Bahkan selalu memaksaku belajar dan berusaha lebih giat. Ngomong-ngomong, aku berada di kelas X 2. Hal itu diam-diam membuatku kesal. Aku tidak suka jadi yang nomor dua. Sejak SD dan SMP, aku selalu masuk kelas favorit dan biasanya kelas itu selalu disebut yang pertama. Entah dengan sebutan A atau 1. Tapi di sini, aku berada di kelas kedua dan itu akan terjadi selama tiga tahun. Alasannya karena gerombolan itu lagi, tiga belas orang laki-laki muda penghuni kelas X 1. Karena laki-laki dan perempuan berada di kelas terpisah, maka sekolah menetapkan kelas X 1 untuk mereka dan X 2 untuk para siswi. Kenapa bukan kami yang ada di X 1, apalagi huuft mereka tidak terlihat sungguh-sungguh untuk belajar. Lihat saja seragam mereka, bahkan ada yang tidak bersepatu. Dan yang membawa tas sekolah, oh Tuhan, bisa dihitung dengan jari. Sudahlah, tidak penting mempermasalahkan itu.
Permasalahan lain yang cukup mengganggu adalah ketika akan masuk kelas, aku harus melewati kelas mereka. Selain itu, kamar asrama mereka juga tepat di depan kelasku dan di lantai atas. Bukan karena aku malu, tidak sama sekali. Aku dari SMP negeri yang sudah terbiasa bergaul dengan teman laki-laki. Entah kenapa aku sebal sekali melihat mereka. Sikap mereka tidak sopan. Setiap kami lewat, mereka selalu memperhatikan dan memanggil-manggil dengan julukan yang aneh dari atas, dari balkon asrama mereka. Aku tahu memang tidak semua. Pasti ada orang-orang yang ber-attitude baik dan berniat sekolah dengan sungguh-sungguh. Tapi karena aku belum mengenal mereka satu persatu, maka masa bodoh bagiku untuk menggeneralisasi.
Lama-lama, aku jadi tidak berani lewat di depan mereka. Aku segan dan grogi karena merasa diperhatikan, begitu juga dengan teman-temanku yang lain. Padahal mungkin hanya perasaan kami hahaha. Tapi mau tidak mau, aku harus lewat. Setidaknya beberapa kali dalam sehari : masuk kelas, istirahat pertama, istirahat kedua, dan pulang sekolah. Aku berusaha biasa saja dan berjalan dengan wajah datar. Tidak lupa ku luruskan pandanganku ke depan. Aku tidak akan menunduk dan kalah. Ejekan mereka pada kami, selalu kuabaikan. Dan sesekali aku pun mendengar suara mas, yang juga membuatku kesal. Entah siapa yang dia goda saat itu.
Hari-hari berlalu, aku menjalani aktivitasku dengan riang. Aku mulai mengenal teman-teman, baik laki-laki dan perempuan, dan juga kakak kelas. Sebagian dari kami pun sudah berteman di Friendster. Platform kenalan terpopuler bagi anak-anak 90-an. Kami juga sering berada di berbagai acara asrama putra putri bersama. Tak terasa liburan semester tiba. Sudah kubawa oleh-oleh rapor biru untuk orang tuaku. Aku senang sekali bisa bebas memeluk handphone pagi siang dan sore.
Saat di rumah, tiba-tiba ada pesan singkat masuk ke handphone ku. Dari orang itu. Dari mas. Aku lupa dari mana dia mengetahui nomor hapeku. Mungkin aku yang memberikannya saat chatting di yahoo hahaha. Mas mengenalkan namanya dan kami mengobrol ringan. Dia bercerita sedang makan satu ingkung ayam. Aku jadi ngeri kok bisa habis segitu banyaknya haha. Tapi setelah belasan tahun, aku jadi tahu kalau ternyata dia hobi makan lauk tanpa nasi. Dia juga bercerita bahwa ada acara syukuran karena pindah rumah.
"Kenapa pindah?", tanyaku.
"Sekarang aku punya rumah lebih besar, Im. Lebih layak."
Aku tak tahu apa maksudnya 'lebih besar' dan 'layak'. Aku sendiri punya rumah yang tidak besar, bangunannya kecil tanpa halaman luas, tapi menurutku layak. Katanya-katanya jadi terdengar sombong bagiku. Belasan tahun kemudian juga lah, aku baru tahu maksudnya. Lalu, tanpa segan, dia bilang lagi, "Im, nanti balik asrama jangan lupa bawa oleh-oleh untukku ya". Sungguh menyebalkan. Tentu saja request semacam itu hanyalah basa-basi yang tak perlu ditanggapi dengan serius. Tapi kenyataannya, kupenuhi juga permintaannya saat itu karena dua alasan.
Komentar