Sebelum lanjut cerita perjalanan dinas, tiba-tiba aku teringat sebuah ganjalan di hati. Kalimat-kalimat yang tidak tersampaikan. Penjelasan dari tuduhan dan asumsi yang tidak terbalas. Sekadar menjelaskan dengan gamblang pun tak bisa. Takut memperumit suasana.
Tapi namanya manusia ada kecendrungan bertahan dan membela diri. Di suatu hari yang kosong, aku sering berpikir untuk menjawab ini itu. Ingin juga membalas perkataan demi perkataan yang menyakitkan dengan argumen kaku. Aku tahu aku tidak sepenuhnya salah dan penuh cela seperti yang tersampaikan. Aku manusia yang hati-hati tapi malah disalaharti atau memang tak sengaja menggores hati.
Tapi manusia itu makhluk perasaan. Hidupnya dikuasai oleh akal dan emosi. Untuk hampir semua wanita, emosinya lebih dominan. Bedanya adalah bagaimana wanita itu menjaga sikap dan lisannya dari penguasaan perasaan.
Aku hidup tidak untuk menyenangkan semua orang tapi tidak juga untuk menyakiti. Maka, aku banyak memilih diam. Kata seorang ustadz, kesalahan manusia bisa dibayar besok di akhirat dengan setimpal. Jika aku menuntut, maka akan Tuhan akan berikan sesuai porsi sakit yang ku terima. Tapi jika aku memaafkan, maka pahalanya langsung dari sisi Tuhan. Opsi terakhir terasa lebih menguntungkan. Aku berpikir untuk jadi mulia. Setidaknya menurut Dia.
Empat bulan lagi aku akan jadi orang yang berbeda. Punya peran ganda. Sejak rahimku membawa keajaiban, aku ingin terus belajar. Memahami dari berbagai sudut pandang. Aku mau mengajari bahwa salah benar itu dari posisi mana. Jika pendapatmu berbeda, pahami isi hati sesama. Kita tak pernah 24 jam bersama, salah benar biar jadi penilaian Sang Pencipta. Manusia memang hobi mengoreksi. Yasudahlah, tugas kita adalah meredam lisan untuk tidak ikut mencerca.
Aku percaya bahwa waktu tidak bisa menyembuhkan. Lamanya rasa akan memudar sedikit demi sedikit sehingga kita lupa. Tapi sakitnya masih ada, maafnya masih belum terasa. Maka bukan waktu yang menentukan tapi lapangnya dada yang melegakan. Biarkan perlahan sesak itu pergi dengan berbagai jenis terapi.
Aku bercerita bukan untuk mengingatkan. Kali ini aku menulis untuk memaafkan.
Komentar