Bulan lalu adalah salah satu bulan terberat dalam hidupku. Suamiku yang 2,5 tahun terakhir tidak pernah sakit tiba-tiba saja merasa tidak enak badan. Waktu itu hari Minggu. Sore hari sepulang kerja, mas mengeluhkan demam, flu dan pegal-pegal. Segera saja aku minta mas untuk istirahat. Aku pegang keningnya dan ternyata memang hangat. Segera saja kuberikan obat penurun panas dan flu. Tiga hari berlalu, sakit mas belum tuntas juga. Beberapa jam membaik, lalu panasnya kembali menyerang ditambah pusing, lemas dan nyeri sendi.
Hari Rabu, aku minta mas untuk periksa ke dokter. Berbekal googling, akhirnya mas pergi ke dokter umum tersekat dengan diantar teman-temannya. Aku menunggu di rumah karena tidak boleh banyak bepergian saat hamil. Berdasarkan diagnosis dokter, mas menderita demam flu biasa, tapi kalau sakitnya tidak berkurang maka disarankan untuk periksa kembali. Dua hari berlalu, demam mas belum turun juga. Aku yang tidak sabaran langsung meminta mas untuk ke rumah sakit. Jumat malam mas berangkat ke UGD. Di sana mas diperiksa oleh dokter jaga, juga dites darah dan rapid test antibodi covid-19. Hasilnya alhamdulillah bukan DBD atau tifus, juga non-reaktif covid-19. Namun, ada sedikit penurunan limfosit. Mas pulang dengan membawa obat yang banyak. Ada 6 macam obat yang harus diminum pagi, siang, dan malam. Aku menemani mas seharian. Badannya yang nyeri membuat mas lebih sensitif. Sekadar menyentuhnya pun aku harus hati-hati. Sedih rasanya melihat mas yang sakit. Rindu celotehan dan tingkahnya yang aneh-aneh.
Tiga hari pun berlalu, panas mas masih belum sepenuhnya usai. Suhu tubuh mas akan turun di pagi hari hingga sore, lalu akan naik lagi di tengah malam. Sudah seminggu lamanya mas demam, bahkan sekarang bertambah gejala baru yaitu mual, diare, mulut pahit dan kehilangan indera penciuman. Aku jadi panik. Apalagi musim pandemi yang melanda ini membuatku khawatir. Aku antar lagi mas ke UGD. Dokter yang memeriksa pun seakan sudah enggan. Kami ngotot minta cek darah lagi dan rontgen. Hasilnya masih sama. Bukan tifus dan DBD. Alhamdulillah ada kenaikan jumlah limfositnya. Paru-paru mas juga normal. Dokter tidak tau diagnosis apa yang bisa diberikan untuk sakit mas ini. Beliau hanya memberikan obat tambahan dan menyarankan kami untuk segera swab test. Tapi aku bersikukuh dalam hati kalau ini bukan karena virus covid-19. Pasti ada jawaban lebih logis untuk gejala yang mas alami. Apalagi dokter ber-hazmat itu memeriksa hanya berdasarkan wawancara.
Hari-hari berlalu dengan tegang untukku. Alhamdulillah aku dan kakak diberikan kondisi yang sehat untuk merawat mas. Hampir tiap malam aku terjaga demi mengecek suhu tubuh mas yang biasanya mulai naik jam 8 dan puncaknya saat dini hari. Pagi hari adalah waktu yang menyenangkan karena biasanya suhu tubuh mas akan turun meskipun masih dilanda pusing dan nyeri sendi. Saat itu kepeluk tubuhnya yang lemas. Kusandarkan kepalaku di dada mas. Aku dengar detak jantung mas yang tegas. Seperti langkah kaki tentara. Aku sadar, suatu hari nanti tak akan kudenger lagi suara ini. Kusentuh tangannya yang hangat, yang aku pun sadar suatu saat tangan ini akan dingin dan kaku. Atau sebaliknya, mas yang akan merasakan itu pada diriku. Tak terasa air mataku terus mengalir. Aku mau mas sembuh. Aku mau tertawa bersama lagi seperti hari-hari yang lalu. Detik demi detik terasa lama untukku.
Komentar