Aku pernah dengar suatu kutipan : "Menikahi seseorang berarti menerima takdir hidup dan matinya". Kata-kata yang membuat ngeri sebenarnya.
Hal ini juga yang terkadang membuatku merenung. Memikirkan bagaimana habisnya hidupku nanti dan bagaimana pula akhir hayat suamiku. Terkadang kami berdiskusi siapa yang kelak akan "pulang" duluan.
"Aku belum tahu gimana hidupku tanpa mas".
"Mas juga. Rasanya mas ingin meninggal duluan soalnya mas pasti ga kuat lihat dek ima pergi."
Seperti biasa, aku hanya mengatupkan bibir rapat-rapat. Menahan tangis agar tidak pecah. Baru setelah menikah ini aku bisa merasakan hati. Merasakan indahnya cinta yang sepenuhnya milikku sendiri. Mengapa tak selamanya saja. Mengapa ada jangka waktunya.
"Hmm tapi gimana ya. Kalau mas duluan, nanti gimana dek ima dan anak-anak. Kalau ada mas, mas bisa menemani dek ima, di samping dek ima sampai waktunya", sambung suamiku.
Aku tak tahu mana yang lebih baik. Keduanya berat. Meski semua itu hanya diskusi kosong tapi entahlah, selalu berakhir dengan sedih. Suamiku pun segera melucu agar aku bisa tersenyum. Tapi sulit. Setelah tenang, aku pun mencoba menimpali candaannya yang receh.
"Tapi mas jangan nikah lagi ya", kataku sambil mengusap air mata. Mas hanya tertawa dan kemudian berkata pelan, "Iya, janji."
Lalu kami hanya bisa menghibur diri. "Nanti kita meninggalnya bareng", katanya. Kami selalu berdoa agar dimatikan bersama-sama di usia senja sambil berpelukan, melewati alam kubur yang dingin, tegangnya hari perhitungan, kemudian kembali di surga-Nya bersama. Aamiin.
Obrolan yang sama pun terkadang hadir tersisip. Pun seperti malam itu. Selepas isya adalah waktu bebas bagi kami untuk bercerita atau menonton video bersama. Setelah ke sana kemari bercengkrama, tema "Bagaimana nanti jika salah satu dari kami pulang" muncul lagi. Beginilah risiko saling cinta gila, rasa takut kehilangan pun selalu muncul. Dan parahnya lagi, kami sendiri tidak tahu kapan momen paling menyedihkan itu terjadi. Saat itu aku merebahkan kepalaku di dada suamiku dan dia mengelus rambutku. Tak terasa bajunya pun basah oleh untaian air mataku.
"Aku tidak akan siap. Tidak akan pernah siap, mas".
"Mas juga".
Sambil terus mengelus rambutku dia berkata lagi, "Tapi waktu itu akan datang". Saat itu, aku melihat ada kilauan yang menyelimuti ujung matanya.
Iya, saat itu pasti tiba. Kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana. Tapi yang jelas, aku selalu berdoa untuk kebaikan kita, selalu bersyukur atas hadirnya kau di dalam roman hidupku. Waktu itu singkat tapi maknanya sarat jika kau habiskan dengan orang yang tepat. Jika dunia ini habis, maka semua kisah kita ini akan berlanjut nanti jauh di sana seribu tahun lagi. Janji. Ah, kasihku.
Komentar