Semenjak ada undang-undang pelarangan body shamming. Netizen negara berkembang (baca : Indonesia) sudah agak "mending" dalam berkomentar. Yang dulu dikit-dikit bilang "gendutan", "iteman", "kurusan", "tembeman", sekarang sudah lebih jarang. Masih banyak, tapi berkurang sedikit. Saya salut juga buat masyarakat yang selalu saling mengingatkan di kolom komentar. Meski akhirnya jadi baku hantam~
Kebanyakan obyek body shamming itu wanita, yang rentan disakiti hatinya. Pokoknya seringnya wanita. Alasannya karena biasanya wanita yang paling peduli tampilan fisiknya. Wanita pula yang sering membanding-bandingkan penampilan dirinya dengan orang lain. Kemudian berujung pada kegalauan tak bertepi. Produsen-produsen kosmetik dan obat-obatan pun dengan cerdiknya menjadikan wanita sebagai "lahan basah" dagangannya. Wanita tidak akan ragu-ragu mengeluarkan gepokan uang asalkan tercipta bentuk body yang dia sukai. Terpujilah kalian wahai wanita.
Meski kaum laki-laki lebih cuek masalah penampilan, bukan berarti mereka bebas dikomentari habis-habisan. Sebagian dari mereka memang tidak perasa, tapi juga punya hati. Dan orang-orang di sekeliling laki-laki itu juga punya hati, misalnya istrinya. Jika ada orang yang berani jahat atau sekadar komentari fisik mas suami, saya bakal ada di barisan paling depan untuk membela dia, sambil pakai ikat kepala, naik kuda, dan bawa bendera tengkorak. Karena saya tidak suka orang macam itu. Mengomentari suami saya, berarti mengomentari saya, karena saya yang merawatnya. Iya kan? Saya yang setiap hari bersama dia. Saya yang memasak untuk dia. Saya yang mengerti jerih payahnya untuk membahagiakan saya. Sayang yang dipamiti jika dia pergi nge-gym atau olahraga. Saya yang membantu memilihkan sepatu dan pakaiannya. Saya yang paling tahu aktivitasnya.
Begitu pula dengan ibu-ibu yang sering mengomentari anak bayi atau balita orang lain. Stop. Tidak ada cara mengasuh yang salah. Tiap ibu tahu kok cara merawat anaknya yang paling tepat. Jadi, yuk mulai berhenti mudah komentar. Berkomentarlah kalau ditanya, kalau tidak untuk apa hehe.
Saya pernah tinggal di Jerman untuk beberapa bulan. Sungguh, adem banget tinggal di sana. Selain karena winter season, mereka juga sangat menghargai privasi. Bahkan sekadar bertanya saja sangat hati-hati. Jangankan komentarin fisik, sekadar memperhatikan juga enggak hehe. Jadi meski saya yang berjilbab ini berkeliaran di tengah salju Kota Leipzig, alhamdulillah aman-aman saja. Meski saya yang berkulit sawo belum matang, dengan tinggi tubuh setengah tinggi mereka, duduk di barisan paling depan di kelas dengan jilbab langsungan yang berkibar-kibar dan pakai jaket hitam murah dari Primark, mereka tidak pernah komen apapun. Sebaliknya, mereka mengapresiasi sekecil apapun prestasi yang saya buat meskipun tidak seberapa.
Saya mohon maaf jika dulu saya juga pernah sedikit-sedikit berkomentar tentang fisik. Konteksnya di sini adalah komentar fisik yang bernada iseng dan menghina. Adapun menasihati agar fisik lebih sehat, atau mengomentari orang-orang terdekat agar lebih cantik, tentu tidak apa-apa apalagi diimbangi dengan cara penyampaian yang indah. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat yang utamanya untuk saya, dan untuk teman-teman semua. Semangat pagi.... :)
Komentar