Tahun lalu di waktu hampir bersamaan saya mendapat cerita yang membuat saya lebih banyak berdoa. Ada pasangan yang baru menikah 6 bulan tapi tiba-tiba sang suami "pulang" lebih dulu. Kepulangannya pun tiba-tiba, yaitu saat mereka berdua tidur di penginapan saat pergi berlibur. Mengagetkan sekali. Pasti kepergiannya itu benar-benar cepat, tanpa persiapan, bahkan tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Saya kemudian kepo di instagram sang istri dan entah kenapa saya jadi ikut merasakan yg sang istri rasakan. Ternyata mereka sudah saling mengenal sejak 2012, sudah seperti sahabat. Kemudian menikah di akhir tahun 2016. Saya jadi mikir gimana ya beratnya. Apalagi mereka tinggal di rumah sendiri, yang sekarang cuma ditempati sang istri. Saya jadi rutin mengecek instagram sang istri. Saya ingin tahu bagaimana cara sang istri bertahan dan menjalani harinya. Tapi akhinya saya stop. Lebih baik saya doakan saja daripada saya ikut terhanyut.
Cerita lainnya saya dapatkan dari instagram Ibuk Retno Hening. Ada pasangan LDR yang akan menikah. Sebelum menikah sang (calon) suami sempat minta tanda tangan Ibu Retno untuk (calon) istrinya yang ngefans Kirana itu. Pulanglah si laki-laki ke tanah air untuk meminang pujaan hatinya. Setelah menikah, sang suami kembali bekerja di luar negeri dan sang istri melanjutkan kuliah di Indonesia. Tiba-tiba, sebulan setelah menikah sang istri meninggal dunia. Bukan karena sakit atau kecelakaan. Mungkin Allah hanya ingin lebih dekat dengannya. Menurut kabar, sang istri adalah orang yang sangat baik hatinya. Tapi ayolah, baru sebulan menikah kemudian harus berpisah gimana coba rasanya :(
Berpisah dengan orang yang kita benci sih ga masalah. Tapi berpisah dengan orang yang kita cintai kelebihan dan kelemahannya? Berpisah dengan orang yang paling tahu rahasia kita? Berpisah dengan orang yang selalu menemani suka dan suka? Ah, sudahlah...
Dulu saya tidak sesensitif sekarang. Dulu saya bukan orang yang mudah menangis ataupun empati. Namun sejak hidup bersama suami saya, entah kenapa saya jadi lebih perasa. Setelah menikah, saya jadi lebih bahagia dari sebelumnya dan di suatu ketika bisa juga jadi lebih sedih. Beda dengan saat single dulu, flat saja hidup ini. Perbedaan ini sangat signifikan. Saya tidak tau apa ini pengaruh umur atau hormon hehehe. Tapi overall, saya sangat nyaman dengan kondisi dan kegiatan saya bersama suami yang penuh kekonyolan dan canda tawa ini, sampai-sampai sering terharu sendiri jika memikirkan suatu saat harus berpisah dengan suami.
Balik ke cerita tadi, kebetulan lagi saya pernah membaca sebuah status facebook :
Menikahi seseorang berarti menerima takdir hidup dan matinya.
Kadang kita lupa, ketika sudah menikah kita juga harus siap kehilangan dia kapan saja. Meski tidak akan pernah siap :(
Saya jadi galau sendiri. Setiap malam, saya pandangi wajah suami saya yang kelelahan. Suami yang rela bekerja untuk memenuhi keinginan saya. Suami yang mau panas-panasan demi saya. Suami yang selalu sabar menghadapi tingkah laku saya. Suami yang mau makan apa saja yang saya masak tanpa protes. Suami yang selalu membolehkan jika saya mau belanja apa saja. Padahal dulunya dia bukan siapa-siapa saya. Bukan keluarga, bukan saudara. Dia orang lain. Tapi setelah menikahi saya, hidupnya dipertaruhkan untuk kebahagiaan saya.
Saya selalu takut kehilangan dia, sama seperti dia selalu bilang ke saya. Tapi kadang, hidup ini naik turun. Ada menit-menit di mana banyak hal menjadi salah dan kami berseteru. Ada saat, kata-kata kurang baik meluncur begitu saja dari lisan saya. Padahal setelahnya pasti saya sangat menyesal. Alhamdulillah, tidak pernah ada masalah besar di pernikahan saya yang baru 3 bulan ini (dan semoga langgeng selalu). Yang ada hanyalah kesalahpahaman kecil yang membuat saling sebel hehe. Tapi kami selalu berkomitmen untuk menyelesaikannya dalam beberapa menit atau beberapa jam.
Mengingat cerita-cerita di atas tadi, saya jadi takut. Entah bagaimana kondisi terakhir nanti saat kami berpisah. Tidak pernah tahu. Jadi saya bertekad, saya harus memaafkannya setiap hari, setiap malam. Saya juga utarakan ke suami, kami harus saling memaafkan hari demi harinya. Agar besok, perpisahan kami tanpa sesal. Saya ingin, entah kapan pun itu, semoga Allah memberikan waktu yang panjang untuk bersama.. Dengan saling memaafkan, saya juga bisa tenang karena selalu berada dalam kerelaan hati suami. Biarlah perpisahan kami nantinya menjadi senyum paling lebar dan menjadi awal pertemuan abadi di jannahnya.
Komentar