Dia lelaki kurus, lebih tinggi kira-kira 12 cm dariku, dengan rambut gondrong dan kaos kebesarannya. Dia datang membawa semesta dan memberikannya padaku. Dia datang dengan tabir diri yang terbuka lebar. Dia tidak pandai janji-janji. Tidak ada kepastian bagaimana hidupku akan berjalan kelak. Aku bahkan ragu. Kadang hidup itu seperti jual-beli. Kalau aku melakukan ini, apa yang akan aku dapat?
Aku hanya ingin perbaikan yang signifikan. Itu saja. Dalam semua aspek. Juga dalam kehidupan spiritual. Mungkin harusnya ini yang utama. Aku ingin punya keturunan yang segala sikapnya menunjukkan takut pada Tuhan--takut mengecewakan-Nya dan takut melanggar larangan-Nya. Maka, aku harus cari kawan untuk berbenah. Aku sadar, aku tidaklah mumpuni dalam membangun generasi seorang diri. Aku butuh teman belajar, memadu rasa untuk terus introspeksi. Sahabat yang tidak menghakimi, sahabat yang selalu mengerti dan menasihati. Saat itu aku merasa dia lah orangnya, bisa jadi.
Dia menawarkan dunia baru untukku. Dunia luar yang tak tersentuh olehku dulu. Dia datang membawa sejuta cerita yang tak pernah aku lalui sebelumnya. Ada jurang besar dalam kehidupan kami. Ada banyak perbedaan. Dia tidak memintaku untuk masuk ke dunianya, tidak juga sebaliknya. Dia tidak datang untuk mengubahku. Tapi membangun fondasi pertama jembatan kami berdua. Yang terus terbangun sedikit demi sedikit apabila kami hidup bersama.
Dia selalu memberikan pilihan, menjadikanku wanita yang bersuara dan punya kesempatan. Dia memenuhi hasrat feminisku, sekaligus mengelola semua ketidakberdayaanku. Maka saat itu kuterima pinangannya.
Jika kau tanya bagaimana dia membuatku yakin? Tentu ada 1001 alasan untuk menerima lamaran seseorang, ada sejuta alasan pula untuk menolaknya. Tidak ada kebenaran yang berdasar pada insting. Tidak ada kepercayaan tanpa pembuktian. Setiap hipotesis haruslah diuji dalam riset. Maka, aku memilih penelitian seumur hidup ini untuk membuktikan dugaanku. Hanya Allah yang mampu mengubah jalan pikiran kita, mengisinya dengan ketenangan dan memberikan keyakinan.
Tentu cerita ini tak akan selesai dalam lima part. Tak akan tamat pula dengan berhenti menulis. Maka, sejenak ku jeda kisah ini dengan sebuah kutipan kinanthi :
"..turuta atut aruntut, karongron saari ratri, yayah mimi lan mintuna.. nadyan tekan ing don ati.
...semoga selalu dalam keadaan rukun, siang malam, selalu berdua bagaikan mimi dan mintuna. Sampai kelak di alam abadi.
Komentar