Setiap hari aku membawakan bekal makan siang untuk pak suami. Setiap sore juga aku lihat kotak bekalnya kosong dan sudah dicuci. "Habis", katanya. Aku tidak apa-apa mas jajan dan makan di kantin kantor, tapi membawakannya bekal membuatku lebih tenang. Alasannya karena makanannya jelas. Selain itu, kubedakan menunya setiap hari. Itu saja.
Aku belum pernah melihat mas makan bekal dariku. Tapi siang ini, kami video call. Mas sedang istirahat dan makan bekal dariku berwadahkan tupperware merah. Entah kenapa ya hati ini terharu. Terharunya kenapa ya. Aku juga tidak tahu. Aku cuma melihatnya duduk bersila lalu menyuapkan makanan ke mulutnya. Lahapnya dia malah membuatku berkecamuk.
Semua orang tahu aku bukan jago masak. Bisa, tapi baru belajar awal-awal. Jika keahlian memasak ada 5 level. Mungkin aku baru di level "muqodimah". Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat. Selama ini, mas tidak pernah protes aku bawakan bekal. Selama ini mas tidak pernah komplain aku belanja apa saja. Mas tidak pernah marah kulkasnya sekarang makin penuh sesak berisi sayur dan bumbu dapur, berbeda saat dia masih bujang dulu. Terima kasih mas.
Aku memang terharu tapi malah lebih ke menyesal. Terkadang aku masih suka merengut jika mas bilang kurang suka salah satu masakanku. Bilangnya pun karena aku pancing pertanyaan-pertanyaan. Kalau tidak ditanya pasti mas selalu makan seperti biasanya. Ah, paksu pun punya preferensi makanan dan itu haknya. Maaf ya sayang. Aku sadar inti memasak seharusnya bukan hanya memberi kenyang tapi juga perasaan bahagia. Aku akan terus belajar masak untukmu. Tunggu aku jadi chef ya :)
Inilah semua yang aku pikirkan saat terdiam selama video call tadi. Uniknya adalah diamnya wanita selama 1 menit ternyata menghasilkan 4 paragraf cerita. Ah sudahlah, mari beberes lagi.
Komentar