Pernah ga merasa takut kehilangan yang sangat besar?
Aku pernah. Takut ditinggal ibuku. Waktu itu ibuku sakit, aku lagi ujian nasional SMA dan aku tidak diberi tahu sama sekali (aku tinggal di asrama). Setelah UN usai, dapat pengumuman diterima SNMPTN, lalu pulang ke rumah, aku tahu semuanya. Saat itu aku takut sekali kehilangan ibuku. Kemudian aku harus pergi lagi ke rantau untuk meneruskan kuliah dan itu rasanya beraaat sekali. Aku ga mau dapet kabar menyedihkan dari rumah. Tapi, alhamdulillah sekarang ibuku sudah jauh lebih baik dan semakin sehat. Kekhawatiran yang berlebihan itu telah sedikit pudar.
Malam ini, aku merasakan lagi hal yang sama seperti beberapa tahun silam. Hal yang membuatku bergetar dan berdoa. Aku sungguh tak ingin kehilangan. Kali ini bukan pada ibuku, tapi pada seseorang, sebut saja A. Aku sudah cukup lama mengenalnya tapi baru beberapa tahun ini jadi akrab. Kami merasa cocok untuk sharing apa pun, diskusi serius atau pun bercanda, dan saling mendukung dalam setiap aktivitas. Kami memang jarang sekali bertemu, apalagi sekarang saat aku di Jerman. Tapi ketika bertemu nanti, aku yakin pasti suasana menjadi cair dalam beberapa detik saja. Dulu dia kelihatannya jutek dan keras kepala, seperti dinding dingin penuh coretan. Tapi, ternyata banyak sisi baik yang aku baru ketahui setelah observasi satu tahun lebih. Aku merasa bersyukur sekali mengenalnya, bisa akrab dengannya. Semua orang harus sadar bahwa kita tidak bisa menjudge sembarangan. Semoga kami jadi partner selamanya. Nah, ceritanya si A ini minta tolong padaku untuk dibangunkan jam 3.30 pagi via telp. Biasanya salah satu akan menelpon dan ketika sudah diangkat tandanya sudah bangun. Kalau dihitung-hitung jam 3.30 pagi di Indonesia berarti jam 21.30 di Jerman.
Hari semakin malam, aku masih baca materi kuliah sambil tidak bersemangat. Jam 21.18 aku sudah ancang-ancang meraih ponselku dan segera membangunkannya hihi biar lebih awal. No respond. Aku menelpon lagi. Tidak diangkat juga. Aku telpon berkali kali sampai 5 kali, sama sekali tidak ada jawaban. Mungkin dia tertidur pulas, nanti kalo dia bangun mau aku ejek-ejek hihihi. Mending sekarang aku tidur saja, pikirku.
Aku pernah. Takut ditinggal ibuku. Waktu itu ibuku sakit, aku lagi ujian nasional SMA dan aku tidak diberi tahu sama sekali (aku tinggal di asrama). Setelah UN usai, dapat pengumuman diterima SNMPTN, lalu pulang ke rumah, aku tahu semuanya. Saat itu aku takut sekali kehilangan ibuku. Kemudian aku harus pergi lagi ke rantau untuk meneruskan kuliah dan itu rasanya beraaat sekali. Aku ga mau dapet kabar menyedihkan dari rumah. Tapi, alhamdulillah sekarang ibuku sudah jauh lebih baik dan semakin sehat. Kekhawatiran yang berlebihan itu telah sedikit pudar.
Malam ini, aku merasakan lagi hal yang sama seperti beberapa tahun silam. Hal yang membuatku bergetar dan berdoa. Aku sungguh tak ingin kehilangan. Kali ini bukan pada ibuku, tapi pada seseorang, sebut saja A. Aku sudah cukup lama mengenalnya tapi baru beberapa tahun ini jadi akrab. Kami merasa cocok untuk sharing apa pun, diskusi serius atau pun bercanda, dan saling mendukung dalam setiap aktivitas. Kami memang jarang sekali bertemu, apalagi sekarang saat aku di Jerman. Tapi ketika bertemu nanti, aku yakin pasti suasana menjadi cair dalam beberapa detik saja. Dulu dia kelihatannya jutek dan keras kepala, seperti dinding dingin penuh coretan. Tapi, ternyata banyak sisi baik yang aku baru ketahui setelah observasi satu tahun lebih. Aku merasa bersyukur sekali mengenalnya, bisa akrab dengannya. Semua orang harus sadar bahwa kita tidak bisa menjudge sembarangan. Semoga kami jadi partner selamanya. Nah, ceritanya si A ini minta tolong padaku untuk dibangunkan jam 3.30 pagi via telp. Biasanya salah satu akan menelpon dan ketika sudah diangkat tandanya sudah bangun. Kalau dihitung-hitung jam 3.30 pagi di Indonesia berarti jam 21.30 di Jerman.
Hari semakin malam, aku masih baca materi kuliah sambil tidak bersemangat. Jam 21.18 aku sudah ancang-ancang meraih ponselku dan segera membangunkannya hihi biar lebih awal. No respond. Aku menelpon lagi. Tidak diangkat juga. Aku telpon berkali kali sampai 5 kali, sama sekali tidak ada jawaban. Mungkin dia tertidur pulas, nanti kalo dia bangun mau aku ejek-ejek hihihi. Mending sekarang aku tidur saja, pikirku.
Sebelum aku tidur, aku iseng menelpon dia lagi. Tetep tidak diangkat. Duh kenapa ya. Aku khawatir. Sebelumnya dia pamit ingin tidur karena pusing. Aku benar-benar bingung. Aku segera kirim pesan dan menunggu. Belum ada respon juga. Tidak terasa sudah 30 menit aku menunggu. Aku telpon-telponin lagi sampe jam 22.00. Belum ada jawaban juga. Udah 10 kali lebih. Aku mulai khawatir dan berdoa. Ya Allah, sehatkanlah dia. Ya Allah, aku benar-benar takut kehilangan dia. Otakku mulai mengarang cerita tapi segera aku tepis, mungkin handphone nya di-silent. Aku hanya bisa menenangkan diri dan mulai mencoba tidur. Pasti nanti bangun tidur ada balasan dari dia. Tapi mataku sulit sekali terpejam. Ya Allah berat sekali kehilangan dia. Tiba-tiba aku ingat candaannya, suaranya, wajahnya, ingin sekali dapat telp balik darinya. Aku hanya bisa berdoa.
"Risiko pertemuan adalah perpisahan, tapi berpisah darinya secepat ini rasanya sulit ya Allah. Bahagia yang pernah dirasa, canda tawa, tangis dan amarah yang pernah tercipta, membuat cerita ini semakin seru. Aku ingin melanjutkannya lebih lama. 100 tahun pun rasanya belum cukup".
Jam 22.30. Tiap detiknya terasa begitu lama. Aku memberanikan diri menelponnya lagi. Hingga akhirnya jam 23.00. Aku menelponnya lagi dan... diangkat! Alhamdulillah.
"Risiko pertemuan adalah perpisahan, tapi berpisah darinya secepat ini rasanya sulit ya Allah. Bahagia yang pernah dirasa, canda tawa, tangis dan amarah yang pernah tercipta, membuat cerita ini semakin seru. Aku ingin melanjutkannya lebih lama. 100 tahun pun rasanya belum cukup".
Jam 22.30. Tiap detiknya terasa begitu lama. Aku memberanikan diri menelponnya lagi. Hingga akhirnya jam 23.00. Aku menelponnya lagi dan... diangkat! Alhamdulillah.
Komentar