Resepsi pernikahan merupakan sesuatu yang sakral bagiku dulu. Saat aku masih gadis, aku memimpikan beberapa macam pernikahan yang indah. Mulai dari dekor penuh bunga, juga gaun besar yang mewah. Kadang aku juga membayangkan pernikahan di tepi pantai atau di atas bukit. Biasanya pernikahan impianku berubah-ubah sesuai dengan film apa yang aku tonton saat itu.
Saat waktu menjelang pernikahanku tiba, aku tersadar bahwa bayangan kadang tak sejalan dengan realita. Saat kurang satu bulan, aku masih tak bisa mempersiapkan pernikahanku sendiri. Saat itu aku masih studi. Aku belum sedewasa diriku hari ini dan tanpa kemantapan finansial meskipun aku dan calon suamiku sudah punya sedikit tabungan untuk membiayai pernikahanku saat itu. Segala persiapan pernikahan di-handle oleh keluarga besar. Aku bersyukur karena memang aku tidak punya waktu. Calon suamiku pun berada di kota lain yang tak memungkinkan membantu persiapan dari dekat.
Hari pernikahanku saat itu tentu kuiiringi dengan penuh haru dan rasa syukur. Namun ada noktah yang tak ingin kuingat-ingat lagi. Bahkan sekedar memposting lagi foto pernikahanku rasanya masih menimbulkan perasaan yang belum usai. Setelah 6 tahun pernikahan, aku merasa sudah berdamai. Nyatanya, aku masih berjuang.
Meski begitu, aku sangatlah kufur jika tidak mengakui bahwa aku menjalani pernikahan yang bahagia. Suamiku adalah orang yang tepat dan berupaya segalanya untuk membahagiakanku.
Untuk itu, aku berusaha meyakini bahwa resepsi pernikahan sekali seumur hidup tidak jadi sesakral itu untukku. Mungkin khusus untuk aku. Kehidupan setelahnya-lah yang seharusnya lebih penting. Namun, jika kita punya waktu, ingin rasanya berfoto lagi berdua dengan baju pengantin yang indah, dengan pikiran bebas dan tanpa beban, tanpa air mata, tanpa cela dan tanpa orang-orang yang mengelilingi. Cukup berdua saja. Aku ingin berbinar dan jadi yang paling bahagia.
Komentar