Beranjak remaja aku mulai mengenal bahwa dua insan bisa memiliki rasa suka. Ibuku selalu mewanti-wanti bahwa dalam hubungan pria-wanita yang belum sah, maka kerugian selalu menimpa perempuan. Perempuan selalu mendapatkan stigma buruk di masyarakat. Jika terjadi kehamilan di luar nikah maka 99% wanita lah yang menanggung aib dan rasa malunya. Beberapa laki-laki bisa dengan gagah namun tak pemberani, bersembunyi dan melanjutkan hidup.
Semua itu selalu kupegang hingga aku beranjak dewasa. Saat hubungan pria-wanita tadi menjelma ke ikatan yang lebih kuat. Aku terus memperhatikan perempuan-perempuan di sekelilingku menjalani kehidupan pernikahan yang jauh dari ideal. Beberapa wanita tetap harus bekerja keras siang malam, sembari menyeimbangkan urusan domestik dan mengurus anak. Juga dengan beban penghakiman di masyarakat atas pilihan-pilihannya.
Sungguh mudah jadi laki-laki.
Namun semua pandangan itu berbeda saat aku telah menikah beberapa tahun. Pada awalnya anggapanku aku masih sama. Lama-kelamaan aku melihat segala kesulitan yang harus dilalui oleh Mas Saif, suamiku. Betapa dia harus bekerja dan memutar otak untuk provide kehidupan kami agar terus berjalan dengan lebih baik. Betapa saat pulang, dia juga masih harus bermain dengan anaknya dan mendengarkan keluhan istrinya. Betapa sebagai anak pertama, dia juga tetap ikut andil atas urusan keluarga besarnya. Betapa sulitnya membuat keluarga kecilnya memiliki rasa aman, nyaman, tanpa khawatir hari esok. Betapa berat pula pertanggung jawabannya di akhirat.
Seketika aku sadar, aku tak akan pernah mampu. Peran laki-laki atau perempuan sudah sesuai porsinya. Maka aku terus mendoakan agar mas selalu sehat dan kuat berdiri di kaki mas sendiri seperti biasanya. Semoga mas terus menjadi tameng yang perkasa untuk melindungi, sekaligus jadi rumah ternyaman untuk ditinggali. Semoga mas juga selalu bahagia bersama kami.
Komentar