Aku hampir selalu memandangi Kautsar saat tidur. Mata, hidung, mulut dan pipi yang kecil terangkum sempurna di wajahnya yang juga kecil. Menggemaskan. Aku menyukai tatapan matanya, juga celotehan dari bibirnya yang seperti tanpa makna. Aku suka melihat senyumnya yang spontan tanpa tujuan. Tapi tangisan Kautsar sangat lantang seperti hendak membelah lautan. Tiap suara itu hadir, kengerian terkadang menyeruak di benakku. Bukan tak suka, aku takut tak bisa membuatnya tenang. Jika aku tahu apa yang dia minta, pasti akan aku kabulkan.
Tapi aku tersadar. Tangisnya adalah komunikasi yang utama. Jika orang terdahulu menciptakan kode dan sandi untuk saling mengerti, maka bayi pun menangis untuk dimengerti.
Kautsar boleh menangis sepuasnya. Sebelum dia sembunyikan tangis dari ibunya karena malu. Sebelum air mata jadi olok-olokan simbol kelemahan kaum patriarki saat dia dewasa kelak. Mungkin saat itu, aku bahkan tak tahu kapan dia sedih ataupun kecewa karena dia merasa kuat. Jadi, Kautsar, menangislah padaku sekarang. Aku lah orang yang paling dia percaya, yang bahkan dia tak tahu kenapa dia menangis tapi dia memintaku untuk tahu. Aku berjanji akan selalu jadi orang yang paling sok tahu menerjemahkan itu.
Kini, aku tersenyum menikmati tangisan Kautsar. Senandung yang amat terkenang untuk masa depan.
Komentar