Hampir empat jam aku berada di ruang transit. Infus dan kateter masih terpasang dengan baik di tubuhku. Tidak lama, dua orang berpakaian hijau menghampiriku. "Mbak husna ya? Oh ini yang terakhir". Rasa gugup kembali menyeruak seperti menit-menit yang lalu tapi kali ini lebih kuat. Bagaimana tidak. Dari ruang transit ini, aku melihat para wanita hamil keluar masuk dengan tipikal yang sama. Masuk ke ruangan yang terang dengan berjalan tertatih-tatih, lalu keluar setengah sadar dengan dipan beroda. Ya Allah dan kali ini giliranku.
Aku masuk ke ruangan itu, yang tak akan aku lupakan. Aku diminta untuk naik ke sebuah ranjang. Lengan kiriku dihubungkan ke tensi meter, jari telunjuk tangan kananku dijepit dengan sebuah alat. Mungkin untuk mendeteksi sesuatu, aku tidak paham. Lalu suster menyuruhku duduk dan menyuntikkan sesuatu di tulang belakangku. Jarum suntiknya terasa besar dan kuat. Setelah percobaan ketiga barulah obat bius itu berhasil masuk ke tubuhku. Suster itu bilang nanti aku tidak akan bisa menggerakkan kakiku untuk sementara. Benar saja, menit demi menit berlalu, kakiku terasa berat. Jemari kakiku seperti kaku. Lambat laun tangan dan kepalaku juga terasa lemas. Seperti ingin pingsan.
Suster dan timnya berkali-kali memastikan tubuhku telah mati rasa. Tapi rasa lemas juga menghampiri badanku, aku hampir tak sadarkan diri. Mereka menanyaiku banyak hal sehingga aku terjaga dan bisa membuka mataku. Saat itu aku benar-benar pasrah. Dokter Eliza, dokter obgyn ku tiba-tiba datang selepas sholat maghrib. "Halo husna, gimana, sehat?" sapanya. Aku hanya bisa menjawab dengan lemas, "Alhamdulillah sehat dokter". Aku sangat gugup tapi aku bersemangat akan segera bertemu bayi yang telah kukandung sembilan bulan lamanya. Kepasrahan adalah ikhtiar terbesar manusia. Doa adalah senjata pamungkas seorang hamba.
Tak sampai lima menit, aku mendengar tangisan bayi yang sangat kencang membahana. Itu anakku. Anak laki-lakiku. Suster menujukkan anak itu padaku. Bayi yang sehat, kulitnya bersih. Itu yang terlintas di pikiranku kala itu. Bayiku segera dibawa untuk observasi. Setelah operasi selesai, suster mendorong tubuhku yang lemas menuju ke ruang transit. Suamiku segera menghampiriku, mengucapkan terima kasih. Baru pertama kali aku melihatnya menangis. Mas menujukkan foto-foto anak kami yang diambil di balik jendela kaca. Kami menangis bersama malam itu. Anak kami telah lahir dengan sehat, kami pun terlahir kembali menjadi orang tua.
Kautsar, anak yang pintar, yang memilih jalan lahirnya sendiri. Kelak kau akan menentukan jalan hidupmu sendiri, nak. Kami akan mendukungmu. Selalu.
Komentar