Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Tentang Body-Shaming

Semenjak ada undang-undang pelarangan body shamming. Netizen negara berkembang (baca : Indonesia) sudah agak "mending" dalam berkomentar. Yang dulu dikit-dikit bilang "gendutan", "iteman", "kurusan", "tembeman", sekarang sudah lebih jarang. Masih banyak, tapi berkurang sedikit. Saya salut juga buat masyarakat yang selalu saling mengingatkan di kolom komentar. Meski akhirnya jadi baku hantam~ Kebanyakan obyek body shamming itu wanita, yang rentan disakiti hatinya. Pokoknya seringnya wanita. Alasannya karena biasanya wanita yang paling peduli tampilan fisiknya. Wanita pula yang sering membanding-bandingkan penampilan dirinya dengan orang lain. Kemudian berujung pada kegalauan tak bertepi. Produsen-produsen kosmetik dan obat-obatan pun dengan cerdiknya menjadikan wanita sebagai "lahan basah" dagangannya. Wanita tidak akan ragu-ragu mengeluarkan gepokan uang asalkan tercipta bentuk body yang dia sukai. Terpujilah kalian wahai...

Tentang Sejoli Salah dan Maaf

Berbuat salah kepada manusia memang payah. Tapi berani meminta maaf adalah sifat ksatria dan memaafkan adalah karakter lapang dada nan bijaksana.  Beberapa orang mencuri untuk mengisi perutnya. Sebagian lagi korupsi untuk memenuhi gaya hidup yang tinggi. Beberapa yang lain bersikap dingin dan kasar untuk menutupi rasa malu di batin yang menggelepar. Keadaan adalah salah satu alasan berbuat buruk tapi bukanlah pembelaan. Banyak di luar sana yang dengan gemetar tetap berjualan karena tak ingin mengemis. Banyak juga pegawai negara yang mengemban amanah dengan ikhlas dan istiqomah. Beberapa yang lain tetap ramah meski kesehatannya makin melemah. Maka ungkapan, "Wajar saja dia berbuat salah. Wajar dia berbuat buruk. Dia punya masalah. Hidupnya tak seberuntung dirimu" bagi saya tidak tepat. Alasannya tentu sudah jelas. Satu, seperti yang telah dijelaskan tadi, keadaan bukan pembelaan. Dua, hidup tak bisa dibandingkan. Tau dari mana seseorang itu lebih beruntung dar...

Temanku Hye Lin (2)

Lama kelamaan aku makin akrab dengan Hye Lin karena ada beberapa kelas yang sama. Aku pun sudah mulai berbicara lepas dengannya. Membahas tentang film korea, asrama yang terlalu panas, makanan dan banyak hal. Dulu di awal, ternyata dia sangat pemalu karena dia merasa bahasa inggrisnya tidak lancar dan logat koreanya masih sangat kental. Tapi aku selalu meyakinkan dia bahwa aku juga sama saja hahaha. Dia gadis yang bersemangat.Terkadang dia terlihat menghabiskan waktunya untuk berkumpul dengan komunitas sesama Korea. Usianya sama denganku. Dia menghabiskan 1.5 tahun waktunya setelah lulus kuliah untuk belajar bahasa inggris. Dia sangat ingin melanjutkan kuliah di luar negeri. Tak heran akhirnya dia bisa menuntut ilmu di Eropa, bahkan dengan biaya pribadi. Wow keren. Dia sering berkomunikasi denganku tentang perkuliahan. Biasanya dia mengirimiku sms atau DM di instagram atau facebook. Mengapa? Karena dia tidak terbiasa menggunakan whatsapp tapi kakao talk. Cinta tanah air bang...

Temanku Hye Lin

Pergi untuk pertukaran pelajar menjadi momen empuk untuk mencari teman. Aku tidak berambisi untuk punya banyak kenalan. Namun setelah ada banyak hal yang kupelajari, salah satu cara kita untuk survive adalah dengan punya teman. Terutama sebagai sumber informasi. Nah, aku mengenalnya saat sambutan mahasiswa baru. Mataku tertuju pada gadis berkulit putih itu. Sosoknya sangat familiar di antara puluhan rambut-rambut pirang yang disangga tubuh tinggi. Ya, dia gadis asia. Berambut hitam dengan bola mata berwarna senada. Aku menerka-nerka dari mana dia berasal. Apakah Jepang atau Korea. Entahlah. Tapi aku cukup senang karena ada dia nanti sekelas denganku. Aku mencari sekutu. Selepas acara dia langsung keluar kelas. Dia berdiri di pojok koridor, dekat mesin minuman. Dia mengeluarkan iphone dan headsetnya lalu sibuk menelepon. Ah, aku jadi tahu dari negara mana ia berasal. Korea! Hari-hari berlalu, aku sudah mengenal beberapa orang teman sekelas. Tapi aku lihat, dia selalu sendiri. S...

Waktu itu akan datang

Aku pernah dengar suatu kutipan : "Menikahi seseorang berarti menerima takdir hidup dan matinya". Kata-kata yang membuat ngeri sebenarnya. Hal ini juga yang terkadang membuatku merenung. Memikirkan bagaimana habisnya hidupku nanti dan bagaimana pula akhir hayat suamiku. Terkadang kami berdiskusi siapa yang kelak akan "pulang" duluan. "Aku belum tahu gimana hidupku tanpa mas". "Mas juga. Rasanya mas ingin meninggal duluan soalnya mas pasti ga kuat lihat dek ima pergi." Seperti biasa, aku hanya mengatupkan bibir rapat-rapat. Menahan tangis agar tidak pecah. Baru setelah menikah ini aku bisa merasakan hati. Merasakan indahnya cinta yang sepenuhnya milikku sendiri. Mengapa tak selamanya saja. Mengapa ada jangka waktunya. "Hmm tapi gimana ya. Kalau mas duluan, nanti gimana dek ima dan anak-anak. Kalau ada mas, mas bisa menemani dek ima, di samping dek ima sampai waktunya", sambung suamiku. Aku tak tahu mana yang leb...