Syahdan, ada seorang laki-laki muda. Rambutnya hitam, panjangnya sejajar dengan telinga. Warna kulitnya seperti madu. Perangainya pun tak kalah manis dari madu. Terkenal lah dia dengan julukan Lelaki Madu. Lelaki Madu ini mempunyai seorang kekasih. Jauh di sana. Jarang bertemu. Hanya mimpi dan doa yang mempersatukan dua insan yang sakit cinta ini. Tapi romantisme yang paling akbar bukankah saat mereka tidak betemu namun cintanya tetap sama bahkan selalu bertambah?
Lelaki madu itu terus berjuang untuk hidup. Ia menimbun rindu demi rindu, hingga suatu ketika rindunya akan meledak. "Kantung rinduku telah penuh, aku tak sanggup lagi. Aku harus bertemu dengannya" batin si lelaki. Serta merta ia pergi menuju obatnya. Tanpa kabar, ia berjalan dan berjalan, hingga sampai di perlabuhan asanya. Dia berhenti, di tengah hari, di depan rumah cintanya. Dia masuk pintu pagar, kemudian duduk. Senyumnya mengembang di kursi teras. Sebentar lagi, hatinya akan penuh, dan malam takkan sepi tanpa bintang seperti malam-malam sebelumnya. Ia menunggu dan menunggu. Tiba-tiba saja, terbukalah sebuah pintu. Mata laki-laki itu berbinar. Di bola matanya ada seorang gadis. Hanya satu orang. Berbaju biru tua. Tersipu malu. Antara terkejut dan salah tingkah, namun terlihat gadis itu kegirangan. Sang gadis bersembunyi di balik dinding hijau di depan teras. Kepala gadis itu sesekali menyembul keluar, melihat laki-laki itu dan sangat ingin melihat tapi malu. Beberapa kali begitu. Lelaki kemudian memanggil sang gadis "Kemarilah, duduk di sampingku". Gadis itu menurut, kemudian duduk. Wajahnya masih mengarah ke depan. Malu.
"Sini, tataplah aku", kata sang lelaki madu.
"Kenapa kau datang?". Sang gadis masih menghadap ke depan. Senyumnya tertahan ragu-ragu.
"Rinduku sudah tidak terbendung. Tak bolehkah aku?", lelaki itu menghadap ke samping kiri, menatap sang gadis yang masih kaku.
Lelaki madu itu terus berjuang untuk hidup. Ia menimbun rindu demi rindu, hingga suatu ketika rindunya akan meledak. "Kantung rinduku telah penuh, aku tak sanggup lagi. Aku harus bertemu dengannya" batin si lelaki. Serta merta ia pergi menuju obatnya. Tanpa kabar, ia berjalan dan berjalan, hingga sampai di perlabuhan asanya. Dia berhenti, di tengah hari, di depan rumah cintanya. Dia masuk pintu pagar, kemudian duduk. Senyumnya mengembang di kursi teras. Sebentar lagi, hatinya akan penuh, dan malam takkan sepi tanpa bintang seperti malam-malam sebelumnya. Ia menunggu dan menunggu. Tiba-tiba saja, terbukalah sebuah pintu. Mata laki-laki itu berbinar. Di bola matanya ada seorang gadis. Hanya satu orang. Berbaju biru tua. Tersipu malu. Antara terkejut dan salah tingkah, namun terlihat gadis itu kegirangan. Sang gadis bersembunyi di balik dinding hijau di depan teras. Kepala gadis itu sesekali menyembul keluar, melihat laki-laki itu dan sangat ingin melihat tapi malu. Beberapa kali begitu. Lelaki kemudian memanggil sang gadis "Kemarilah, duduk di sampingku". Gadis itu menurut, kemudian duduk. Wajahnya masih mengarah ke depan. Malu.
"Sini, tataplah aku", kata sang lelaki madu.
"Kenapa kau datang?". Sang gadis masih menghadap ke depan. Senyumnya tertahan ragu-ragu.
"Rinduku sudah tidak terbendung. Tak bolehkah aku?", lelaki itu menghadap ke samping kiri, menatap sang gadis yang masih kaku.
"Boleh". Sang gadis menahan bibirnya. Satu kata itu seperti ingin memuntahkan ribuan kalimat.
"Lihatlah aku, jauh aku kemari, ingin melihat senyummu. Sini, tatap aku, sayang".
Gadis itu perlahan mengubah posisi duduknya. Badannya memutar ke kanan perlahan. Wajahnya tepat di depan wajah lelaki itu, tapi beberapa inchi lebih rendah. Bola mata gadis itu masih kesana-kemari, takut terkunci di mata orang itu, diterkam kerinduan yang buas.
Gadis itu perlahan mengubah posisi duduknya. Badannya memutar ke kanan perlahan. Wajahnya tepat di depan wajah lelaki itu, tapi beberapa inchi lebih rendah. Bola mata gadis itu masih kesana-kemari, takut terkunci di mata orang itu, diterkam kerinduan yang buas.
"Kau terlihat semakin cantik. Hmmm, bolehkan kau makan coklat?", kata lelaki itu sambil mengeluarkan sebungkus cokelat dari dalam tasnya dan memberikannya.
Gadis itu tersenyum lebar. "Iya, tentu saja. Bahkan aku harus segera memakannya". Sang gadis dan lelaki madu tertawa bersama. Gadis itu makan dengan cepat. Menghabiskan coklat adalah keahliannya. Suasana menjadi cair, seperti cokelat yang ia makan di musim panas kala itu.
Gadis itu tersenyum lebar. "Iya, tentu saja. Bahkan aku harus segera memakannya". Sang gadis dan lelaki madu tertawa bersama. Gadis itu makan dengan cepat. Menghabiskan coklat adalah keahliannya. Suasana menjadi cair, seperti cokelat yang ia makan di musim panas kala itu.
"Kau cantik sekali, berjanjilah, kau akan jadi istriku kelak".
"Iya, tentu saja". Gadis itu tersenyum, entah karena kegirangan akan cokelat atau mungkin karena ucapan lelaki itu. Sang gadis menatap muka kekasihnya dengan hangat. "Aku mencintaimu, tapi bukan karena kau memberiku cokelat".
"Lalu?". Sang lelaki bertanya. Pupil matanya membesar.
Sang gadis tersenyum lalu beranjak dari kursinya "Aku akan segera kembali". Matanya berkedip, kemudian ia menghilang dari balik pintu.
"Lalu?". Sang lelaki bertanya. Pupil matanya membesar.
Sang gadis tersenyum lalu beranjak dari kursinya "Aku akan segera kembali". Matanya berkedip, kemudian ia menghilang dari balik pintu.
Komentar