Langsung ke konten utama

Postingan

Terima kasih, Adek

Dengan mengucap syukur alhamdulillah, hari ini adek sudah berusia 5,5 bulan. Setengah langkah lagi menuju mpasi. Rasanya bulan-bulan yang lalu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana mengurus adek sendirian seperti ini sejak mama bapak pulang. Tapi ternyata, sambil terseok-seok, semua tetap berjalan dengan baik dan dengan hati yang lapang. Awal kelahiran adek Icay sangat menyenangkan buatku. Aku merasa cepat recovery dan asi-ku langsung diproduksi. Mungkin karena aku bahagia bisa melahirkan di rumah sakit yang bagus, gratis dan ditemani suami. Aku juga terbantu oleh mama bapak dalam mengurus adek, Ucay serta pekerjaan rumah. Adek sangat lancar minum asi lewat dot dan dbf. Aku pun bisa “bernapas” dan beristirahat saat adek diasuh nenek kakeknya. Aku juga bisa tetap mengurus Ucay yang baru beradaptasi dengan pertambahan anggota keluarga. Tapi lama kelamaan ternyata 75% asupan asi adek lewat botol dot. Ditambah lagi ternyata adek tongue tie (tapi tidak perlu diinsisi karena derajatnya ring...
Postingan terbaru

Semoga lekas sembuh

Kalau anak-anak udah tidur, waktu terasa semakin panjang. Kerjaan-kerjaan yang tadi tak sempat dikerjakan, malah jadi ku kesampingkan. Lebih memilih istirahat dan scroll sosmed saja. Hari ini aku antar si bungsu berobat. Di sana sudah banyak anak-anak yang antre ditemani ayah ibunya. Aku jadi ingin juga, rindu ditemani suami atau bapakku untuk periksa Ucay dan Icay. Karena tadi repot sekali bawa bayi ke poliklinik rumah sakit, mendaftar, masuk ke ruang dokter dan antri obat sambil menggendong bayi aktif, menyusui dan bawa tas. Sepanjang 3 jam antre, aku mondar mandir menidurkan Icay yang terus-terusan menangis di koridor. Juga tak lupa mengecek cctv lewat hape, liat si kakak sedang apa. Karena belakangan, kakak juga kurang enak badan dan sering flu. Tapi… selelah-lelahnya bermain sama anak-anakku, aku tidak akan sampai stress dibandingkan ketika mendengar mereka sakit. Lelahnya bukan di fisik tapi pikiran. Aku bersyukur sekali dikaruniai dua anak laki-laki yang lucu. Aku selalu berhara...

It’s just a training phase

Jam 3.45 pagi. Sudah dua jam lebih aku menggendong Icay. Entah mengapa lima hari ini Icay banyak terbangun dan menangis di malam hari. Mungkin karena efek imunisasi. Mungkin juga karena growth spurt. Untungnya kafein yang aku minum tadi bekerja dengan baik. Mataku terjaga, meski badanku tak karuan. Aku masih siap bertempur. Sepanjang sejarah hidupku, ada beberapa keputusan “nekat” yang aku ambil. Beberapa berjalan dengan baik. Beberapa lagi yaah insya Allah semakin membaik. Tapi keputusan kali ini sepertinya memang lain kali perlu dipertimbangkan dan tidak untuk ditiru: punya anak kedua sebagai working mom di perantauan saat ART lama resign dan suami berangkat S2. Dengan catatan lagi: anak pertama super aktif dan titisan avengers. Sebelum mas berangkat, beberapa kali aku mempertanyakan kondisi ini. Orang tuaku ada untuk menemaniku sebelum dan setelah melahirkan tapi tentu tidak akan bisa selamanya. Tak ada juga orang yang bisa aku percaya untuk mengurus newborn kecuali keluarga. Tapi s...

3 hari lagi

Tiga hari lagi adek berusia 4 bulan. Sudah sejauh ini ya perjalananku dan masih harus terus berlanjut sampai anak-anakku besar. Lama juga aku tidak menulis, mungkin ini akan jadi update my life so far. Sepuluh hari setelah melahirkan Icay, suamiku berangkat ke Korea untuk studi S2. Meski sedih, aku masih tenang karena ada orang tuaku yang menemaniku. Hari-hari berjalan dengan berat, mengurus dua anak tanpa ART, tapi masih bisa terlampaui karena dukungan bapak dan mamak. Hampir setiap hari aku menangis. Karena lelah, karena rindu, juga karena Ucay yang tiba-tiba jadi sering tantrum. Entah bagaimana jadinya kalau aku sendirian. Hingga akhirnya Icay berusia 2,5 bulan dan orang tuaku bilang kalau mereka harus pulang kampung. Aku mulai kalang kabut mencari ART untuk mengerjakan pekerjaan harian dan momong Ucay. Akhirnya, ada ART yang aku pekerjakan, H-11 dari kepulangan orang tuaku hingga saat ini. Punya ART baru tentu tidak mudah. Banyak hal yang membuatku mengelus dada. Tapi cutiku telah ...

Menghitung Waktu

Saat ini pukul 20.30. Mas sedang keluar untuk menyelesaikan urusan pekerjaannya. Aku termenung di pinggir kasur. Ku tatap kedua anakku yang tertidur nyenyak di kedua sisiku. Si bungsu tidur di sebelah kanan, di dalam sebuah ranjang bayi warna abu-abu. Si kakak tidur di kasur, tepat di sebelah kiriku. Aku menatap mereka yang tertidur pulas, sambil menunggu kapan di adik akan bangun untuk minta susu. Dalam kesunyian ini, aku merenungi hari-hariku satu setengah tahun ke depan. Aku berjanji menjalaninya dengan baik dan bahagia tapi apakah aku bisa. Malam ini terasa agak lain. Aku merayakan kehadiran anak bungsuku sambil menghitung waktu. Sebentar lagi suamiku akan berangkat untuk studinya. Aku menghitung waktu untuk masih bisa menggenggam tangannya dengan bebas. Aku menghitung waktu untuk bisa mengobrol dengannya tanpa video call yang terbatas. Aku menghitung waktu sambil memikirkan semua kebaikannya padaku selama aku hamil hingga sekarang. Aku menghitung waktu mendengar celotehan anehnya....

#19 Tentang LDR

Awal menikah dulu, aku dan suami LDR selama 2 tahun karena aku harus menyelesaikan studi S2 ku. Di semester akhir kuliahku, wabah COVID-19 datang dan aku bisa berkumpul lagi dengan suamiku karena aku bisa kuliah from home sampai wisuda. Sekitar satu bulan setelah wisuda, aku hamil anak pertama. Aku dan mas bisa tinggal satu atap waktu itu dan menjalani hari-hari bak pasutri seutuhnya. Namun saat usia kehamilanku 5 bulan, kami bersepakat agar aku pulang kampung dan melahirkan di rumah orang tua. Aku dan suami tinggal berjauhan lagi hingga anakku berusia 1 tahun 3 bulan. Setelah tinggal bersama 2,5 tahun ini, belum terpikir bahwa kami akan menjalani LDR lagi. Momen-momen yang dulu sangat berat dan menyedihkan akan terulang. Scene sedih di bandara dan stasiun terkadang membayangiku. Tapi di pernikahan kami yang akan menginjak 7 tahun ini, rasanya akan berbeda. Prioritas kami berubah. Cinta-cintaan yang dulu membara bak remaja kini berubah menjadi cinta yang stabil dan penuh target masa de...

#16 Tentang Pilihan

Salah satu realita di dunia ini: untuk menjadi sukses, nilai bagus dan ketekunan saja tidak cukup. Kita harus punya banyak pilihan dan peluang. Keduanya dibuka oleh beragam faktor. Waktu SMP dan SMA, aku tidak banyak memilih. Aku dihadapkan satu sekolah yang dipilih orang tuaku. Aku tidak dipaksa tapi lebih memilih untuk menurut karena percaya pilihan orang tua. Lebih lagi, saat itu aku masih di bawah umur, jadi sudah sewajarnya orang tua punya andil yang besar. Aku tidak bersekolah di sekolah yang paling favorit. Tapi aku tetap senang menjalani hari-hari saat itu dan memiliki teman-teman yang solid hingga sekarang. Saat memilih perguruan tinggi, aku lebih tidak punya pilihan. Ketika teman-temanku memilih kampus terbaik A dan B. Aku hanya berpikir apakah aku bisa berkuliah saat itu dengan kondisi yang ada. Aku ingin sekali menjadi dokter, tapi aku juga tahu diri dengan situasiku saat itu. Aku tetap memilih jurusan itu, juga alternatif lainnya yang sesuai feelingku karena tidak ada yang...