Aku menulis ini di kesunyian malam. Diapit dua anak laki-lakiku yang tertidur pulas. Ditemani juga dengan mbak ART. Kami tidur bersama-sama di sebuah hotel dalam rangka pengungsian. Rumah kami kebanjiran. Kini air mulai surut. Teman dan kerabat datang membantu. Kami telah beristirahat malam di tempat yang nyaman setelah 10 jam diliputi rasa lelah dan panik. Tapi di tengah keadaan yang mulai membaik, aku tiba-tiba rindu suamiku. Saat kulihat bola matanya tadi menyiratkan kekhawatiran yang besar —saat aku terus mengabarinya tentang keadaan di sini. Seperti cemas tapi tak bisa berbuat banyak karena jarak yang cukup memberi batas. Aku rindu perasaan aman saat berada di dekatnya. Serasa dunia akan selalu baik-baik saja. Semua duka, lara, dan kecemasan tak bertepi tiba-tiba sirna. Aku rindu saat bumi terasa berhenti, waktu mati, dan hanya aku dan dia yang abadi. Aku tahu, aku tak pernah salah memilih rumah.
Dengan mengucap syukur alhamdulillah, hari ini adek sudah berusia 5,5 bulan. Setengah langkah lagi menuju mpasi. Rasanya bulan-bulan yang lalu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana mengurus adek sendirian seperti ini sejak mama bapak pulang. Tapi ternyata, sambil terseok-seok, semua tetap berjalan dengan baik dan dengan hati yang lapang. Awal kelahiran adek Icay sangat menyenangkan buatku. Aku merasa cepat recovery dan asi-ku langsung diproduksi. Mungkin karena aku bahagia bisa melahirkan di rumah sakit yang bagus, gratis dan ditemani suami. Aku juga terbantu oleh mama bapak dalam mengurus adek, Ucay serta pekerjaan rumah. Adek sangat lancar minum asi lewat dot dan dbf. Aku pun bisa “bernapas” dan beristirahat saat adek diasuh nenek kakeknya. Aku juga bisa tetap mengurus Ucay yang baru beradaptasi dengan pertambahan anggota keluarga. Tapi lama kelamaan ternyata 75% asupan asi adek lewat botol dot. Ditambah lagi ternyata adek tongue tie (tapi tidak perlu diinsisi karena derajatnya ring...