Jam 3.45 pagi. Sudah dua jam lebih aku menggendong Icay. Entah mengapa lima hari ini Icay banyak terbangun dan menangis di malam hari. Mungkin karena efek imunisasi. Mungkin juga karena growth spurt. Untungnya kafein yang aku minum tadi bekerja dengan baik. Mataku terjaga, meski badanku tak karuan. Aku masih siap bertempur.
Sepanjang sejarah hidupku, ada beberapa keputusan “nekat” yang aku ambil. Beberapa berjalan dengan baik. Beberapa lagi yaah insya Allah semakin membaik. Tapi keputusan kali ini sepertinya memang lain kali perlu dipertimbangkan dan tidak untuk ditiru: punya anak kedua sebagai working mom di perantauan saat ART lama resign dan suami berangkat S2. Dengan catatan lagi: anak pertama super aktif dan titisan avengers.
Sebelum mas berangkat, beberapa kali aku mempertanyakan kondisi ini. Orang tuaku ada untuk menemaniku sebelum dan setelah melahirkan tapi tentu tidak akan bisa selamanya. Tak ada juga orang yang bisa aku percaya untuk mengurus newborn kecuali keluarga. Tapi siapa. Bagaimana adik bayi ini saat aku bekerja. Aku juga punya anak lain yang masih balita. Tapi saat itu mas sudah sibuk dengan keberangkatannya. Mungkin sama-sama tak tahu jawabannya. Tak banyak opsi juga yang bisa dipilih. Jadi, apa lagi yang aku bisa selain menerimanya.
Sudah 4 bulan Icay di sisiku dan 5 minggu sudah aku bekerja sambil membawa Icay. Bahkan juga saat antar-jemput sekolah kakaknya. Urusan pelerjaan, aku terus berusaha mengerjakan pekerjaan kantorku dari rumah. Tapi ternyata sangat sulit. Jangankan untuk meniti karir dan persiapan studi lanjut, untuk duduk sejenak bebas tanpa sentuhan pun jarang. Waktuku sedikit sekali. Saat Icay tidur, aku bergantian mengurus Ucay yang masih perlu perhatian ekstra. Tak terasa, aku hanya tidur 3-4 jam saja tiap harinya dan harus bangun pagi untuk memasak sambil diselingi menggendong dan menyusui Icay. Badanku rasanya remuk dan rambutku mulai rontok. Tapi aku tidak bisa sharing semua ini pada orang-orang terdekatku karena mereka bisa khawatir. Hanya suamiku yang jadi tempat curhat tipis-tipis selama aktivitasnya yang padat. Aku sering ingin menangis, tapi bahkan air mataku tak bisa menetes karena ada dua pasang mata yang selalu memperhatikanku.
Tapi di balik itu semua, aku selalu yakin Allah tidak pernah salah menempatkan sesuatu. Ucay dan Icay adalah hadiah sekaligus “training” yang berharga. Aku tak pernah ragu Allah telah menyiapkan sesuatu yang besar untukku. Tak melulu berupa materi atau pencapaian. Berada pada kondisi yang sulit mungkin akan membuatku lebih bersyukur atas sekecil apapun kemudahan. Selain itu, skill menggendongku dengan jarik ternyata naik pesat. Ketenanganku dalam kondisi chaos dan berisik juga bertambah, sembari memikirkan solusi terbaik ke depannya. Bonusnya lagi, aku bisa bernyanyi dan menari dengan Ucay dan Icay tiap sore dan mendengar kata-kata dari si sulungku: “Mama tau gak? Papa, Ucay sama adek sayang sama mama”.
Komentar