Setelah melakukan riset dan analisis, ada beberapa hal yang bisa jadi aku butuhkan saat perasaan "tidak enak" itu tiba-tiba muncul.
Yang pertama adalah tidur yang cukup. Punya kekhawatiran besar tentu menguras tenaga dan pikiran. Tidak jarang juga membuat kita insomnia. Kurang tidur terbukti memperparah mood manusia. Begitu pula denganku. Meski aku pun belum tahu metode apa yang paling efektif untuk bisa tidur nyenyak di kala overthinking, aku akan mencoba wkwk
Kedua, aku pernah membaca sebuah tulisan. Kalimat tepatnya aku tidak ingat, namun intinya adalah "Kita sering menjadikan suami sebagai obat. Namun, kadangkala kita meminumnya berlebihan". Mungkin itu salah satu yang sedang aku lakukan. Sejak pindah ke Samarinda dan memulai peran sebagai ibu bekerja, aku merasa temanku semakin berkurang. Sebagai "story teller" di lingkar kecil, banyak hal pula yang ingin aku ceritakan mengenai hari-hariku, namun tak bisa kusampaikan ke sembarang orang. Ada batasan yang tak bisa aku lompati. Maka, suamiku menjadi tujuan utama segala gagasan dan perasaanku. Dia-lah yang jadi satu-satunya sahabat yang selalu aku rindukan. Hari-hari berlalu aku habiskan dengan menunggunya pulang. Berharap ada keseruan yang akan terjadi saat dia datang nanti. Padahal kita semua tahu, memupuk harap pada manusia sama halnya dengan menimbun rasa kecewa.
Aku makin tersadar bahwa hati ini adalah milik Allah, begitupun hati semua orang. Maka Dia yang yang paling pantas mendapat pengharapan terbesar dari kita. Attachment kita ke suami seharusnya tidak lebih besar daripada kepada-Nya. Saat suami sedang tidak di rumah, itulah saatnya bagi kita, para wanita, untuk mengupgrade diri dan memperkhusuk ibadah-- yang mungkin akan lebih sulit dilakukan saat melayani suami di rumah--
Aku sudah mulai mencobanya. Saat suami dinas di luar kota, aku mulai menyusun rencana kegiatan yang bisa kulakukan--meski tidak tertulis, hanya dalam pikiran saja. Selain --suatu kegiatan utama--memperbaiki attachment dengan Tuhan, aku biasanya lebih banyak menghabiskan waktu berkualitas dengan anakku. Di sela-sela itu, aku berusaha menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kampus yang terbengkalai, sendiri atau dengan teman kerjaku, di kampus ataupun di kafe. Aku juga mulai juga mulai merawat diriku dan pergi ke salon. Selain baik untuk tubuh, refreshing di salon juga baik untuk pikiran. Buku-buku yang "mangkrak" di atas lemari mulai aku baca kembali. Jika waktunya masih memungkinkan, aku juga menghubungi teman dan kerabatku hanya untuk say hello.
Hasilnya apa? Kegiatan-kegiatan itu membuat pikiranku "sedikit" lebih kendor. Meski begitu, terkadang hati manusia memang sulit di kendalikan. Pikiranku juga masih bisa terbang melayang memikirkan hal-hal yang tak perlu. Perjalanan masih panjang. Hidup ini dinamis. Aku masih terus belajar. Aku selalu berdoa agar bisa menjadi manusia yang tenang dan menenangkan-- yang aku belum tahu kapan akan terkabul. Semoga dengan hati dan pikiran yang lebih tenang, aku bisa mencintai diriku dengan hati yang lapang juga lebih siap menyambut suamiku saat dia pulang :)
Komentar