Entah kenapa sejak tinggal di Samarinda aku jadi sering memikirkan mamak. Pertama, aku membayangkan hari-hari mamak tanpa Kautsar. Kedua, aku jadi menyadari betapa banyak dosaku pada mamak dan mengapa aku tak banyak membahagiakannya saat di rumah.
Dulu sekali, waktu suamiku diterima jadi PNS di Samarinda, mamak sibuk bertanya padaku. "Bisa gak Saif pindah ke Lampung?". Berkali-kali mamak tanya selama setahun penuh. Aku sampai super bosan. "Gak bisa mak, harus 10 tahun dulu. Gak tentu juga pindahnya ke Lampung". Selalu itu yang aku katakan pada mamak. Dan sama seperti biasanya, jawaban itu membuat mamak terdiam seperti memikirkan sesuatu yang besar. Gejolak wanita alpha ku malah berontak di hati. Aku merasa mamak terlalu ngatur aku, bahkan suamiku. Ibu mertuaku saja tidak keberatan kami tinggal di mana. Tapi mamak selalu seperti menyuruh tinggal di Lampung secara halus. "Kalo ada kerjaan, ada tempat tinggal, mauklah pindah ke Lampung". Aku mengatakannya dengan tegas, bahkan mungkin ketus (?), untuk memperjelas bahwa rejeki itu Allah yang mengatur dan lokasinya tidak bisa kita pilih. Dan akhirnya, dua belas bulan pun berlalu.
Waktu hamil Kautsar, aku memutuskan pulang kampung. Aku merasa sangat terpukul dengan LDR kedua ku ini. Rumahku di kampung masih terasa asing. Aku merasa jadi tamu tak diundang. Aku sudah terbiasa tak tinggal di situ. Awalnya sungguh canggung dan tak mau merepotkan. Tapi semua hanya perasaanku. Semua orang senang dengan kedatanganku dan calon buah hati. Sebulan dua bulan, aku sudah jadi diriku sendiri. Bahkan dengan versi yang lebih "nyata" karena tidak jaim (kalau dengan suami seringkali berlagak sok anggun). Aku bisa berkarya, memasak bahkan mendaftar kerja karena banyak yg menghandle kerjaanku serta mengurus anakku. Alhamdulillah aku juga diterima bekerja di Samarinda. Dekat kantor suamiku. Mamak sujud syukur mendengar kabar ini. Meski aku tahu sejak awal mamak agak keberatan. Kalau aku diterima, sudah jelas domisiliku akan di sana. Kalau tidak diterima, tentu lah kami semua akan sedih. Dilema memang. Tapi mamak tetap memilih mendukungku dan mendoakanku sampai aku diterima.
Drama baru dimulai. Belum lagi aku masuk kerja. Mamak sudah ribuan kali bertanya bisa tidak pindah ke Lampung. Saif pindah juga supaya bareng. Jawabanku pun tetap sama,"Nunggu sepuluh tahun, mak. Pindahnya juga gak gampang".
Hari demi hari, aku liat mamak terus menguatkan diri. "Gakpapa di sana ya. Kan di kota juga. Masih di bumi Allah. Rejekinya di sana. Jauh sih ya. Nanti kangen Ucay. Tapi gapapa kalau sehat semua di sana." Berkali-kali mamak bilang begitu. Gak ada angin gak ujan, begitu kata istilah gaul.
Sebenarnya aku sangat tahu apa yang mamak mau. Mamak ingin tiga anak perempuannya tinggal di satu kota yang sama. Minimal satu provinsi. Bahkan mamak ingin kami semua tinggal berdampingan dengan mempersiapkan tanah tinggal untuk kami. Dulu kupikir semua itu sangat berlebihan.
Aku selalu menghitung usiaku, yang lambat laun tidak muda lagi. Aku kini sudah bukan remaja. Meski seringkali aku merasa begitu. Aku sudah berusia dewasa. Rasanya tidak menyenangkan. Aku menghitung umurku dan membandingkannya dengan anakku. Jika usianya 15 tahun, maka aku 28 tahun lebih tua darinya. Saat kuhitung maju umurku, aku merasakan masa depan yang mapan. Aku yakin kelak sudah punya rumah dan kendaraan. Aku dan suamiku bisa bebas berjalan-jalan. Anak-anakku pun bisa bersekolah di tempat dengan fasilitas terdepan. Aku berhitung waktu menuju kebahagiaan. Tapi mamak? Jika mamak menghitung usia, aku tahu mamak selalu diakrabkan oleh kematian.
Sungguh sangat cepat waktu bergulir. Banyak hari yang habis dengan lelahnya tapi diselingi canda tawa dan air mata. Kabar baiknya, anakku sudah 1 tahun. Kabar kurang baiknya, suatu saat aku harus berpisah dengannya. Aku harus merelakan genggaman tangannya yang erat. Aku harus mengizinkannya pergi tanpaku. Entah untuk karir, cita-cita dan mimpinya atau untuk membangun paguyuban kecil miliknya kelak. Rasanya ingin kupeluk erat anakku yang mungil. Jangan cepat berlalu. Ingin ku dekap anakku agar dia selalu di sisiku dengan aman. Tapi tentu tidak bisa. Dan semua itu kini telah dirasakan mamakku. Keinginannya untuk dekat dengan anak-anaknya, kini dirasakan juga olehku.
Setelah aku jadi seorang ibu dan tinggal berjauhan dengan mamak, tenyata permintaan mamak sungguh tidak muluk-muluk.
Terima kasih sudah selalu memikirkan kami bahkan untuk hal terkecil. Terima kasih sudah menata hidup kami, memberikan segala kebutuhan yang kami perlukan. Bahkan hal-hal sepele seperti makanan, baju, celana dalam pun selalu mamak pikirkan. Apalagi hal yang besar. Meski sering kali aku kesal karena merasa jadi anak kecil. Tapi saat aku lagi butuh dan jauh, kadang rindu peran besar mamak buat hidupku. Kami tahu mamak gak pernah "nge-jorke" kami, kalo mamak ada meski dikit, pasti akan mamak limpahkan secara"jor-joran" tanpa ragu. Termasuk pikiran dan tenaga. Sepertinya bakal nurun ke aku, bakal begitu juga aku ke Ucay hehe.
Semoga kita selalu punya kesempatan untuk membahagiakan keempat orang tua kita. Karena saat kau jatuh terpuruk dan semua meninggalkanmu, hanya Allah dan orang tua lah yang selalu mau membersamaimu. Dah lah, semangat lagi yuk. Bismillah :)
Komentar