Saya pernah ikut suatu seleksi. Mungkin salah satu seleksi paling bergengsi di Indonesia, khususnya untuk pelajar seperti saya waktu itu. Saya menyiapkan berkas-berkasnya dengan teliti. Setelah lulus administrasi, saya lanjut ke tahap berikutnya. Saya persiapkan lagi semuanya dengan baik dan mengikuti tes dengan performa terbaik. Beruntungnya, saya pun lolos dan lanjut lagi ke tahap terakhir. Saya benar-benar belajar, berdoa, dan minta restu kedua orang tua. Waktu itu saya juga punya nilai yang lumayan bagus. Mumpuni lah buat diterima. Kayaknya sih diterima, pikir saya. Ternyata eh ternyata, setelah pengumuman keluar, duarrr saya belum berhasil. Tahun depannya, saya coba lagi. Juga dengan ikhtiar yang luar biasa. Dan ternyata hasilnya sama, saya masih gagal juga. Saya bahkan ragu, apa saya masih punya keberanian untuk mencoba ketiga kalinya. Harusnya sih iya ya jangan menyerah.
Tahun demi tahun bergulir, ternyata Allah memberi kejutan. Memang tidak sama dan tidak tahu apakah lebih baik menurut kita, karena itu relatif. Tapi mungkin lebih pantas untuk saya menurut-Nya. Bukan sesuatu yang luar biasa, tapi jadi spesial karena itu pilihan Tuhan. Dulu saya merasa telah ikhtiar, telah menyandarkan semuanya pada Illahi. Tapi tanpa sadar, mungkin saya salah karena merasa paling pantas. Seringkali kita berpikir, "Saya sudah begini begini, masa Allah tidak memberi?" Mungkin saya juga lupa, tawakal berarti melepas semua yang ada di pundak kita, merunduk, mengiba dengan sepenuh hati, merasa kecil, dan sadar bahwa kita bukan apa-apa dibandingkan Dzat yang Maha Segala-galanya. Biarlah Dia yang menentukan. Takdirnya seringkali terasa lebih asyik. Entah hikmahnya kita tuai di dunia atau malah kelak di alam selanjutnya.
Tapi jangan lupa, yakin doa kita diterima adalah salah satu adab dalam berdoa. Maka, ada perbedaan mendasar antara memaksakan kehendak dan berprasangka baik. Perbedaan keduanya akan terlihat nanti, tercermin dari sikap kita saat qadar telah tiba.
Jadi, ya begitulah. Semangat ya :)
Komentar