Kami bingung apakah harus ke kiri, ke kanan, atau terus ke depan. Aku menghentikan laju motor. Aku ingin bertanya kepada mereka. Aku mendekati mereka dan bertanya jalan menuju Spanyol. Tapi salah satu dari mereka tidak mengerti bahasa yang aku gunakan. Orang itu berbahasa Arab. Aku dan Dhini saling berpandangan. Bingung. Sebenarnya keduanya mirip TKW dari Indonesia. Rambut mereka ikal sebahu, kulitnya sawo matang, hidungnya pun tak semancung Arabian, tapi entah mengapa mereka tidak mengerti bahasa Indonesia. Mungkin sudah terlalu lama di Arab, pikirku. Dhini kemudian mengambil serobek kertas dan menyodorkannya padaku. Aku menuliskan pertanyaanku di situ dengan bahasa Indonesia. Lalu kutunjukkan ke wanita yang satunya. Alhamdulillah sepertinya dia mengerti. Lalu dia berbicara kepada wanita yang satunya lagi (yang pertama kali aku tanya) dengan bahasa Arab, tapi dengan logat bahasa urdu. Wanita itu lalu menunjuk ke depan. Ke arah jalan lurus. Aku dan Dhini tersenyum senang. Kami langsung berhamburan dan naik ke motor, ingin melanjutkan perjalanan, bersamaan dengan datangnya seorang laki-laki berjenggot lebat menghampiri kedua wanita tadi. Sembari motor berjalan menjauh, kami berteriak, "Ahlan wa sahlan yaa ukhtiii wa akhiii". Hahaha entah mengapa kami mengatakan itu, padahal kami harusnya mengatakan "syukron" atau apalah. Kami tak peduli, yang terpenting kami tahu jalan mana yang harus kami lalui. Kami terus menyusuri jalanan yang naik dan turun. Pepohonan tak habis-habisnya muncul di kiri dan kanan hingga kami sampai di Australia. Ada rumah kayu di kiri jalan. Kami ingin menumpang beristirahat. Kemudian aku memarkir motor di depan pohon bambu depan rumah itu. Kami berjalan kaki mendekati pintu. Suara langkah kaki kami tidak beraturan. Tiba-tiba laki-laki bule gendut menyeruak keluar rumah. Wajahnya tampak tidak ramah. Perutnya yang besar juga membuatnya lebih seram. Aku dan Dhini ketakutan dan langsung pergi dengan mengendarai motor. Entah mengapa kami takut, padahal laki-laki itu belum mengatakan apapun. Kami terus menyusuri jalanan. Hari semakin terang. Matahari semakin dewasa dan berani bersinar. Aku terus mengendarai motorku bersama Dhini dan sejurus kemudian jalanan berbelok ke kiri. Ada alunan lagu-lagu melayu yang menyejukkan. Kami sampai di Malaysia. Kami memutuskan untuk berkeliling Malaysia. Ada rumah-rumah penduduk yang berjajar rapi, ada taman besar, dan kolam. Kemudian aku melihat sekumpulan orang sedang duduk di kursi-kursi, seperti outdoor classroom. Mereka sedang belajar bahasa Inggris. Beberapa dari mereka tidak asing bagiku. Ada Arinta, Rachmadani, Ganjar, Meiyanti, dan yang lainnya. Wah keren, ternyata selama ini mereka kursus bahasa Inggris di Malaysia. Kami saling menyapa dan tersenyum. Aku dan Dhini terus berkeliling, berjalan kaki sekarang. Kami terus melewati rumah-rumah penduduk. Tapi kini berbeda. Terlihat dari plang-plang di depan rumah. Tulisan-tulisan di sini tidak lagi menggunakan alphabet. Namun, ditulis dengan huruf seperti bahasa hindi. Amboi, ini di Thailand. Tiba-tiba kami sadar, kami harus melanjutkan perjalanan. Kami pun menaiki motor dan berbalik ke jalan utama.....*
Aku terbangun. Bingung. Aku terdiam 10 menit dan bepikir. Mana Edinburgh yang selalu kuimpikan? Jerman? Jepang? Indonesia? Aneh, negara-negara ini hanya dihubungkan dengan jalan-jalan panjang. Dunia ini sangat kecil. Bisa dijangkau dengan sepeda motor. Ini negara atau RT. Aku tertawa dalam hati. Aku benar-benar pandai bermimpi. Ini mimpi dan khayalan yang kekanak-kanakan. Tapi...dalam mimpi tadi, aku dan Dhini belum sampai ke tujuan. Jadi, akankah kami sampai? Hehe
Bukan kali ini saja. Tapi setiap waktu. Tanpa sadar maupun dengan kesadaran, sering sekali kita (-aku) memproposalkan keinginan pada-Nya. Menebar mimpi-mimpi, asa, angan, ingin, sehingga bertaburan kian banyak dan berharap Allah yang menyatukannya. Aku sadar diri bahwa aku tidak tahu diri. Sungguh. Mana mungkin semua itu terkabul kecuali berhasil merayu-Nya. Tapi apakah berdosa jika mempunyai keinginan? Aku hanya ingin dan aku tak memaksa. Inilah bentuk ke-tahu-diri-an yang sesungguhnya. Inilah bukti kita selalu bergantung pada-Nya, selalu butuh meminta pada-Nya. Kita takkan stabil tanpa-Nya. Kita hanyalah radikal.
Komentar