Suatu senja yang dingin, saya singgah di pinggir Jalan Surya Utama. Disitu ada sebuah kedai kecil yang menjual tahu petis. Tahu petis masuk dalam salah satu kategori cemilan menarik versi saya. Sejak pertama kali mencicipinya di Kota Semarang, saya menyukainya. Melihat ada kedai tahu petis di dekat kost, saya tak mungkin melewatkannya begitu saja. Sepulang kuliah beberapa waktu saya singgah disana walau sekadarr membeli tiga atau empat buah tahu petis.
Sore itu saya membeli enam buah. Penjualnya adalah seorang kakek yang masih terlihat sehat. Dengan bersemangat, kakek tersebut segera melayani pesanan saya. Seperti itulah yang saya amati selama ini. Walaupun saya hanya membeli dua atau bahkan satu buah, kakek tersebut tidak pernah menunjukkan semangat yang berbeda. Sudah menjadi kebiasaan saya mengajak sang penjual (penjual apapun) untuk mengobrol atau mungkin hanya sekadar menyapa. Sehingga saya mulai bertanya dan mengajak sang kakek mengobrol tentang berbagai hal. Sang kakek pun menanggapi obrolan saya dengan anatusiasme yang tinggi. Semilir angin mulai menggoda dan menyibak ujung-ujung kerudung yang saya kenakan kemudian berlari-lari di sekitar raga yang sedang menunggu sesuatu yang disukainya.
Tanpa disadari, kedua bola mata saya tertuju pada sebuah mobil yang berukuran kecil diparkir di seberang jalan. Ternyata mobil itu milik sang kakek. Saya sedikit takjub. Untuk apa sang kakek berjualan seperti ini. Di pinggir jalan, dengan tempat sederhana, dengan cuaca tak menentu : panas yang terik, terkadang dingin atau bahkan hujan deras dan bisa dibilang sedikit sekali pembelinya. Toh, beliau sudah cukup mapan, makmur dan berdikari. Mempunyai mobil pribadi dengan model jaman sekarang. Sekarang saatnya beliau pensiun. Tak tega saya membayangkan beliau berjualan dari pagi hingga sore hari. Membuka dan menutup kedai seorang diri. Tanpa hari libur seperti guru dan pegawai negeri. Tapi sang kakek tidak terlihat just so-so atau teribble. Beliau terlihat so fine.
Saya pun bertanya padanya, "Apakah anda berjualan hanya untuk mengisi waktu luang?". Sang kakek tersenyum. "Ya, daripada di rumah". Saya pun tersenyum padanya dan mengatakan. "Anda benar. Ketika anda disini anda lebih bermanfaat untuk orang lain. Khusunya saya yang menyukai tahu petis." Sang kakek tertawa. Dengan wajah berbinar beliau berkata, "Ya, memang benar. Saya memang sudah tua. Tapi saya tidak pernah berpikir untuk pensiun. Lebih baik saya tua dengan pikiran muda. Dan ketika saya harus menjadi tua jangan sampai pikiran saya pun menjadi jompo". Deg. Jantung saya berdegup. Tua dan pikiran tidak jompo.
Saya berpikir, apakah saya sama seperti kakek tersebut atau malah sebaliknya. Usia hanyalah soal dimensi waktu. Ketika kita memiliki pikiran yang "muda" segalanya bukanlah menjadi masalah. Masalah utama bagi kita adalah bisa atau tidaknya kita mengelola waktu itu, bisa atau tidaknya waktu itu kita gunakan untuk menjadi insan yang lebih bermanfaat. Ketika saya sekarang muda tetapi saya tidak berbuat apa-apa, saya akan sama seperti orang tua yang tinggal di panti-panti jompo, yang menghabiskan waktu menyulam di atas kursi goyang. Sang kakek telah berhasil mempermuda pikirannya dengan berjualan tahu petis. Ya, saya tersadar bahwa usia bertambah adalah kepastian tetapi mempunyai pikiran tua atau muda kita yang menentukan. Terima kasih kakek! ^^
Komentar