Saat ini pukul 20.30. Mas sedang keluar untuk menyelesaikan urusan pekerjaannya. Aku termenung di pinggir kasur. Ku tatap kedua anakku yang tertidur nyenyak di kedua sisiku. Si bungsu tidur di sebelah kanan, di dalam sebuah ranjang bayi warna abu-abu. Si kakak tidur di kasur, tepat di sebelah kiriku. Aku menatap mereka yang tertidur pulas, sambil menunggu kapan di adik akan bangun untuk minta susu.
Dalam kesunyian ini, aku merenungi hari-hariku satu setengah tahun ke depan. Aku berjanji menjalaninya dengan baik dan bahagia tapi apakah aku bisa. Malam ini terasa agak lain. Aku merayakan kehadiran anak bungsuku sambil menghitung waktu. Sebentar lagi suamiku akan berangkat untuk studinya. Aku menghitung waktu untuk masih bisa menggenggam tangannya dengan bebas. Aku menghitung waktu untuk bisa mengobrol dengannya tanpa video call yang terbatas. Aku menghitung waktu sambil memikirkan semua kebaikannya padaku selama aku hamil hingga sekarang. Aku menghitung waktu mendengar celotehan anehnya. Aku menghitung tiap detik kebersamaanku dengannya.
Aku tahu tahun depan bukan waktu yang lama. Tapi juga bukan menit detik yang singkat untuk aku yang terbiasa bersandar padanya. Aku menangisi malam ini. Bukan untuk meratapi kesedihan. Tapi untuk meneguhkan hati bahwa segala pencapaian ini perlu disyukuri dengan kekuatan dan ketabahan yang besar —agar mendatangkan kebaikan di cerita kehidupan mendatang.
“Aku akan menunggu, 2026, waktu kita bersama lagi setiap harinya. Sampai saat itu tiba, mas, mari berjuang bersama.”
Komentar