Salah satu hal yang aku pertahankan dalam pernikahanku adalah keterbukaan. Aktivitas, finansial, relasi, dan lainnya yang berhubungan denganku selalu diketahui suamiku. Begitupun sebaliknya. Hal ini juga lah yang aku rasa membuat pernikahan kami kuat. Dan semoga akan terus begitu.
Tapi di balik itu semua, sebenarnya ada satu hal yang jadi tanda tanya besar untukku. Hal ini baru aku sadari sejak anakku mulai tumbuh dengan berbagai keinginan dan asumsi. Kadang perasaan itu belum tersalurkan dengan baik (karena belum bisa bicara) sehingga emosinya memuncak dan rewel. Di usianya sekarang tentu hal itu masih terlihat menggemaskan. Tapi tentu kondisi itu tidak baik untuknya saat balita dan remaja. Kesehatan mental jarang dibicarakan karena seringkali terlihat 'lebay'. Padahal itulah aspek penting yang melingkupi kepribadian seorang manusia.
Aku jadi berkaca pada diriku. Aku dibesarkan dengan lingkungan yang sangat terbuka masalah perasaan, baik itu emosi positif maupun negatif. Di awal menikah, saat ada ketidakcocokan, aku selalu mengatakan apapun isi di hatiku kepada suami tanpa filter. Dulu kukira itu semua benar. Lambat laun, aku belajar bahwa semua itu tidak sepenuhnya baik. Suamiku bilang bahwa tidak semua yang kita pikirkan harus diucapkan, karena dia pun demikian. Banyak juga komplain dia terhadapku yang tidak pernah diutarakan. Sejak saat itu, aku belajar menjadi lebih hati-hati dalam bicara. Apalagi aku tahu bahwa suamiku tidak suka jika aku berbicara negatif tentang orang lain. Seringkali itu dianggap "perasaanku saja" atau "yasudahlah tidak usah dipikirkan". Lebih lagi itu malah akan jadi masalah untuk kami.
Suamiku sebenarnya adalah pendengar yang baik dan solutif. Hampir semua permasalahanku selalu dibantu olehnya. Tapi saat aku merasakan ketidaknyamanan hati, apalagi itu dari inner circle kami, pelan-pelan aku menutup perasaanku karena takut dia tidak suka. Kadang pula aku tidak bisa memvalidasi perasaanku sendiri. Misalkan saat aku merasa sedih dengan sikap orang lain. Di awal aku marah dan sedih, tapi tiba-tiba aku merasa, mungkin aku yang salah, mungkin aku yang terlalu sensitif dan lain sebagainya. Sehingga aku seringkali mengabaikannya. Aku benar-benar takut menceritakannya. Yang aku inginkan hanya satu : pernikahan kami tetap harmonis tanpa perseteruan.
Ternyata semua perasaan itu tidak selesai dan jadi masalah untukku. Seringkali aku berbicara dengan diriku sendiri seolah-olah menceritakan semua kepada suamiku.
Mungkin laki-laki adalah makhluk simpel di muka bumi yang selalu stress dengan pikiran wanita yang ini itu. Tapi, perempuan pun sangat kesulitan memahami perasaan laki-laki yang simpel. Sebenernya yang aku inginkan adalah kami selalu bisa mengutarakan kesedihan, kemarahan dan kecewa kami satu sama lain dengan cara yang baik, bahkan yang menyangkut teman dan anggota keluarga kami. Kami harus jadi tim yang solid untuk saling support. Bukan mengabaikan "concern" agar tidak berkepanjangan. Justru saat semua dikubur begitu saja, sangat mudah masalah akan tumbuh lebih liar. Aku beruntung suamiku adalah orang yang bisa diajak berdiskusi sehingga semua pasti akan terselesaikan dengan baik. Tapi banyak suami-istri yang tidak bisa demikian.
Jika orang tua belum selesai dengan dirinya, tentu saja akan sulit memvalidasi perasaan anak. Anak itu makhluk yang penuh asumsi. Mengajaknya mandi saat sedang bermain, membuatnya merasa terganggu dan marah. Saat kita merayunya untuk sikat gigi, dia merasa kita memaksa, membuatnya tidak nyaman dan menyakitinya. Padahal tentu tidak demikian. Tapi apakah perasaan anak itu salah? Tidak. Kita yang harus memahaminya. Pertama, kita harus memvalidasi perasaannya. Kita terima bahwa dia merasa sedih, merasa marah dan jengkel. Meski hal tersebut tidak benar, tapi perasaan itu ada dan nyata dia rasakan. Yang kedua, kita beri pengertian dengan baik jika bisa atau sekedar memeluknya jika dia sedang tantrum. Ketika kita mengabaikan apa yang anak kita rasakan, dia akan tumbuh menjadi anak yang tertutup atau sebaliknya, akan mengemis perhatian orang tuanya. Anak yang bahagia dimulai dari orang tua yang sadar akan kebutuhan perasaan anaknya.
Komentar