Nun jauh di ufuk timur, mentari datang menyapa. Berlarian ke barat perlahan lalu hilang di tengah temaram senja. Mungkin awalnya dia masih enggan. Ingin berlama-lama bergurau dengan makhluk bumi. Tapi dengan senyum indahnya, ia hilang juga.
Hidup ini mirip demikian. Jika ingin "bertahan" maka berkawanlah dengan rasa.
Manusia sejatinya kumpulan biomolekul yang punya banyak ingin, yang satu per satu disampaikan pada angin, banyak hajat yang tersurat pada Tuhannya. Tapi sungguh, keinginan hanyalah untuk orang-orang yang bersabar. Untuk yang mau menunggu. Karena di penantiannya muncul jutaan rasa di jiwa, juga tanya.
Rasa itu bak kendaraan yang membersamai tiap langkah. Bisa membuat diri menjadi gagah, tapi bisa pula menyerang kita hingga kalah. Jadi pegang kemudinya.
Jika kau rindu, hidupilah rindumu. Putarlah musik dan menarilah. Tunggulah kado terindah. Jika kau bahagia, teriakkan pada dunia rasa senangmu. Buat orang lain juga ceria. Jika kau terluka, menangislah, biarlah tiap tetes matamu berarti. Berdoalah. Jauhi hal-hal yang membuatmu sedih karena diri ini pun punya hak untuk dicinta. Lalu jadilah orang yang lebih baik. Jika kau marah, marahlah dengan cara elegan dan tak menyakiti perasaan orang lain. Kill them with kindness. Tak perlu memaki, kawan. Dampak pelampiasan amarah biasanya berujung penyesalan. Padahal ada tiga hal di dunia ini yang tak bisa dibatalkan : batu setelah dilempar, waktu setelah dihabiskan, dan kata setelah diucapkan.
Rasa adalah sebongkah ilusi. Bisa datang, bisa pergi. Jadi mari belajar mencintai dan memahami tiap rasa, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Sehingga dengan banyak pemahaman rasa, kita jadi semakin kuat dan bijaksana.
Komentar