Aku pernah pergi ke suatu tempat yang klasik. Namanya Praha. Atau Prague. Terdengar seperti "prah" saat orang-orang barat menyebutnya. Sejak itu, aku selalu berpikir : jika dirimu sedang galau, maka pergilah ke Praha! Di sana galaumu akan makin menjadi-jadi! Seketika kau akan jadi pujangga yang melahirkan ribuan karya. Semua itu karena kau tersihir keindahan kotanya.
Waktu itu, aku berhenti di pinggir pagar sebuah bendungan atau sungai, aku tak tahu. Dekat Charles Bridge. Masih jauh sebenarnya, tapi sudah terlihat kokohnya. Ingin 'ku berjalan ke sana. Tapi kau pasti tahu Prague is the city of tourists. Ramai. Sangat ramai. Apalagi di Hari Sabtu. Aku benci keramaian. Sudahlah, aku berhenti di sini saja. Lalu, sekilas 'ku perhatikan pagar di depanku. Banyak gembok bergantungan, bertuliskan dua nama yang saling cinta. Aku tersenyum dalam hati, ingin juga menggantungkan gembok. Ada nama yang sudah terselip di hati, akan kusandingkan dengan namaku di gemboknya nanti. Tapi aku tidak bawa gembok. Dan lagi, aku tidak tahu apakah nama itu yang tertulis di Lauhul Mahfudz. Tak perlu mendahului cerita indah Tuhan.
Akhirnya, yang kulakukan adalah mengambil secarik kertas lalu kutuliskan "Mas, nanti ke sini sama Ima ya". Lalu kufoto tulisan itu. Akan kutunjukkan padanya setelah menikah nanti. Geli. Terasa seperti ABG labil. Tapi bukankah tak ada batasan dalam merasa? Karena rasa itu ilusi yang paling nyata. Kadang logikamu hilang, hatimu yang menang. Ah, Prague!
Komentar