Di depan laptopku, aku mulai mengetik kata demi kata yang ada di otakku. Tuts-tuts pada keyboard aku tekan dengan gontai. Aku bingung dengan yang aku pikirkan. Mungkin ini suatu luapan gejolak masa remaja yang panas. Setiap remaja mempunyai suatu keinginan untuk menyampaikan apa yang dia pikirkan, apa yang dia ingin lakukan. Dan semua itu juga terjadi padaku nampaknya. Tapi aku tidak termasuk dalam jajaran orang-orang yang selalu berkoar-koar dengan speaker di kampus. Bukan pula pujangga yang karyanya mendunia. Dan yang bisa aku lakukan hanyalah menulis di blogku yang sepi pengunjung. Blogku sangat eksklusif. Hanya aku yang mengunjungi. Dan ketika aku memasang penghitung pengunjung, hatiku girang bukan kepalang melihat angka 527 menghiasi blogku. Tetapi hari ini, aku sangat bingung dan sedikit kurang bersemangat. Bahkan untuk memberi judul pun aku bingung.
Baiklah sahabat, rasanya ini asam manis, pahit asin, atau mungkin pedas dan umami. Semuanya bersatu dengan mesra hingga usiaku nyaris 19 tahun. Cukup dewasa dan telah lama hidup di dunia. Berkutat dengan kimia adalah pilihanku. Orang-orang yang melihat sering merasa alergi dan mencemooh. Aku sudah bosan mendengar semua pendapat orang tentang jurusanku. Pernah suatu ketika aku berkunjung ke kantor tata usaha di sekolah lamaku. Saat itu aku akan mengurus kuliahku karena aku dinyatakan lulus PMDK di salah satu universitas terkemuka. Universitas itu berada di kota yang sama dengan SMA-ku. Saat aku mulai masuk, dengan sedikit kebanggaan, guru-guru di sana mulai menyalamiku, memberikan selamat, menjabat tanganku dan mengelu-elukan namaku. Bak putri satu hari, aku sangat berbahagia, kawan. Bayangkan, aku hanya dari sekolah Islam yang mungkin tak banyak yang tahu lokasinya. Tapi aku diterima dengan jalur PMDK. Subhanallah sekali kan. Kalau bukan karena Allah, mungkin aku tidak bisa melanjutkan pendidikanku sekarang ini. Tetapi saat itu, aku sedang diperhatikan oleh salah seorang ibu guruku. Beliau masuk ke ruangan kemudian duduk. Di hadapan banyak orang beliau berkata,"Kok mau-maunya masuk jurusan kimia. Disana itu memang masuknya gampang, tapi keluarnya susah. 5 tahun itu sudah cepat". Aku sedih. 5 tahun. Aku tahu bahwa guruku tersebut juga lulusan di jurusan dari calon universitasku nanti Aku pun bertanya padanya, "Kalau boleh tahu, ibu berapa tahun disana?". "Saya 6,5 tahun. Dan skripsinya...huh, menghabiskan banyak uang.". Aku terdiam dengan sedih. Aku berada dalam kalangan menengah kebawah. Ketika ekonomi menjadi masalah. Maka ini pelik bagiku. Tapi aku terus bersemangat dan tersenyum. Ini pilihanku. Aku harus menguatkan diri dengan semua. Aku tetap pada keteguhanku dan hingga semester 2 ini aku masih berusaha untuk bertahan. Tapi sang keraguan selalu menari-nari di otakku. Kemudian, mencoba untuk meledekku. Datang kemudian sembunyi, muncul dan berlari. Aku tak peduli, aku berusaha membiarkannya pudar seiring dengan bertambahnya kecintaanku pada kimia.Dan aku rasa, aku akan berhasil. Keluargaku juga menjadi sumber semangatku. Mama, bapak, adik-adik. Rindu rasanya. Sudah hampir empat tahun aku meninggalkan rumah untuk menimba ilmu. Keluargaku adalah semangatku. Kisah-kisah masa laluku adalah bagaikan pemantik api yang siap untuk menghidupkan korek. Aku merasa, akulah yang pertama. Anak pertama, cucu pertama. Bahkan panggilan "dik" selalu aku rindukan karena tidak pernah. Ibuku, ibuku sangat aku cintai. Beliau adalah yang ketiga yang aku cinta setelah Allah dan Rasul-Nya. Membahagiakannya adalah obsesiku. Membuatnya menangis adalah suatu kegagalan sebagai manusia. Ya, hidupnya terlalu pahit untuk sekedar mengeluarkan air mata tak berarti. Hatinya sudah kebal sperti baja. Oh, ibu.. tunggulah kesuksesanku.
Baiklah sahabat, rasanya ini asam manis, pahit asin, atau mungkin pedas dan umami. Semuanya bersatu dengan mesra hingga usiaku nyaris 19 tahun. Cukup dewasa dan telah lama hidup di dunia. Berkutat dengan kimia adalah pilihanku. Orang-orang yang melihat sering merasa alergi dan mencemooh. Aku sudah bosan mendengar semua pendapat orang tentang jurusanku. Pernah suatu ketika aku berkunjung ke kantor tata usaha di sekolah lamaku. Saat itu aku akan mengurus kuliahku karena aku dinyatakan lulus PMDK di salah satu universitas terkemuka. Universitas itu berada di kota yang sama dengan SMA-ku. Saat aku mulai masuk, dengan sedikit kebanggaan, guru-guru di sana mulai menyalamiku, memberikan selamat, menjabat tanganku dan mengelu-elukan namaku. Bak putri satu hari, aku sangat berbahagia, kawan. Bayangkan, aku hanya dari sekolah Islam yang mungkin tak banyak yang tahu lokasinya. Tapi aku diterima dengan jalur PMDK. Subhanallah sekali kan. Kalau bukan karena Allah, mungkin aku tidak bisa melanjutkan pendidikanku sekarang ini. Tetapi saat itu, aku sedang diperhatikan oleh salah seorang ibu guruku. Beliau masuk ke ruangan kemudian duduk. Di hadapan banyak orang beliau berkata,"Kok mau-maunya masuk jurusan kimia. Disana itu memang masuknya gampang, tapi keluarnya susah. 5 tahun itu sudah cepat". Aku sedih. 5 tahun. Aku tahu bahwa guruku tersebut juga lulusan di jurusan dari calon universitasku nanti Aku pun bertanya padanya, "Kalau boleh tahu, ibu berapa tahun disana?". "Saya 6,5 tahun. Dan skripsinya...huh, menghabiskan banyak uang.". Aku terdiam dengan sedih. Aku berada dalam kalangan menengah kebawah. Ketika ekonomi menjadi masalah. Maka ini pelik bagiku. Tapi aku terus bersemangat dan tersenyum. Ini pilihanku. Aku harus menguatkan diri dengan semua. Aku tetap pada keteguhanku dan hingga semester 2 ini aku masih berusaha untuk bertahan. Tapi sang keraguan selalu menari-nari di otakku. Kemudian, mencoba untuk meledekku. Datang kemudian sembunyi, muncul dan berlari. Aku tak peduli, aku berusaha membiarkannya pudar seiring dengan bertambahnya kecintaanku pada kimia.Dan aku rasa, aku akan berhasil. Keluargaku juga menjadi sumber semangatku. Mama, bapak, adik-adik. Rindu rasanya. Sudah hampir empat tahun aku meninggalkan rumah untuk menimba ilmu. Keluargaku adalah semangatku. Kisah-kisah masa laluku adalah bagaikan pemantik api yang siap untuk menghidupkan korek. Aku merasa, akulah yang pertama. Anak pertama, cucu pertama. Bahkan panggilan "dik" selalu aku rindukan karena tidak pernah. Ibuku, ibuku sangat aku cintai. Beliau adalah yang ketiga yang aku cinta setelah Allah dan Rasul-Nya. Membahagiakannya adalah obsesiku. Membuatnya menangis adalah suatu kegagalan sebagai manusia. Ya, hidupnya terlalu pahit untuk sekedar mengeluarkan air mata tak berarti. Hatinya sudah kebal sperti baja. Oh, ibu.. tunggulah kesuksesanku.
Komentar