Sudah dua bulan lebih aku tinggal di rantau. Rasanya tidak pernah terpikirkan akan mengasuh Kautsar tanpa kakek neneknya. Ada perasaan haru dan juga bangga. Aku lihat Kautsar semakin bertumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria.
Tidak pernah terpikirkan juga aku akan secepat ini menjadi ibu yang bekerja. Meski tidak harus berangkat fajar pulang petang, tapi tetap saja, meninggalkan anak di rumah barang 1-2 jam punya tantangan tersendiri. Apalagi kalau harus meninggalkannya 8 jam. Tantangannya kadang bukan dari si anak, tapi dari batinku sendiri yang berkecamuk. Apalagi terngiang suaranya memanggilku "mama.. mama..". Belum lagi teringat bulir air matanya yang jatuh dengan deras ditambah genggaman jemarinya di bajuku yang semakin erat. Maka jahatlah orang yang sering menghina ibu bekerja huhuhu. Batin ini sudah sakit tapi malah ditaburi garam. Sama halnya juga tidak baik menghina ibu rumah tangga yang pagi-malamnya penuh perjuangan. Pada dasarnya, caci-mencaci itu harus enyah dan tak akan pernah bisa ditoleransi.
Kembali ke bekerja.. Tapi ada hal yang tidak kusangka lagi. Aku selalu pulang kerja dengan riang. Bukan karena akan menghindari tumpukan pending job, tapi karena aku merasa lebih hidup setelah seharian di tempat kerja. Api di jiwa ini semakin tersulut, lengkap dengan oksigen dan flammable things yang membuatnya lebih lama padam. Lelah? Pasti. Tapi ada kepuasan di hati yang mengkonfirmasi bahwa ya, pekerjaan ini yang aku inginkan. I am getting paid for learning, for playing and saying "ya Allah kok gini ya hasilnya" or "alhamdulillah bagus datanya" instead of "eureka" in lab again, for being a long-live student, for talking too much and being a story teller, for being misinterpreted as a college student and asked "semester berapa", and all these things make me feel like "yeaaaay".
Kerjaan rumah gimana tuh kalo pulang kerja? Untungnya ada suami yang selalu mendukung setiap langkahku. Tentu perannya sangat besar dalam menyelesaikan setiap pekerjaan rumah tangga yang terus menumpuk. Dukungannya bahkan membuatku lebih fresh dan lebih plong dalam memulai dan menutup hari-hariku dengan peranku yang baru. Aku pun berterima kasih padanya karena membantuku... mencarikan dan menggaji ART.
Di awal masa adaptasi, mas ingin aku fokus ke pekerjaan tanpa melupakan kebutuhan anakku. Tentu hal itu sangat berat tanpa ada bantuan dari pihak eksternal. Tapi memasukkan orang baru ke dalam rumah kita, tentu tidak semudah itu. Butuh bismilllah sebanyak-banyaknya juga rasa percaya -yang dipaksakan- yang begitu besar. Hal ini juga yang bikin was-was setiap harinya. Entah apa yang mungkin akan terjadi. Rasanya aku ingin mengerjakan segalanya seorang diri. Bekerja dan juga full time mom. Aku juga ingin bisa mengasuh anakku di siang hari seperti dulu. Sedikit-sedikit, aku belajar melakukannya. Tapi selagi semua belum bisa aku lakukan maka bismillah. Aku memang sedang butuh bantuan. Ikhtiar yang baik, prasangkaan yang baik, semoga menghasilkan sesuatu yang baik pula. Hanya itu yang bisa aku yakini.
Maka sekarang terasa apa yang dulu aku dengar di radio entah berapa belas tahun silam. "Tidak ada kebahagiaan yang sempurna di dunia ini. Kebahagiaan di dunia selalu beriringan dengan kesedihan. Karena kebahagiaan yang sempurna hanya ada di surga".
Dan mungkin hal itu yang aku rasakan akhir-akhir ini. Itu juga yang jadi pengingat bahwa kita jangan silau dengan kesenangan dunia, besok lho ada kesenangan yang lebih menyenangkan. Kira-kira begitu.
Meskipun demikian, rasa syukur semestinya selalu ada di lisanku, juga perbuatanku. Entah berapa banyak kenikmatan yang tidak bisa kuhitung. Entah berapa kebaikan yang setiap harinya aku rasakan, entah itu karena kesehatan yang baik, suami dan anak yang hangat, bahkan karena hujan deras turun tepat saat aku sudah tiba di rumah.
Maka, tulisan ini aku mulai dan aku tutup dengan sebuah ungkapan dalam bahasa Jerman :
"Liebe und hoffnung geben uns die kraft leben."
Meski tidak tahu artinya, pastilah semua orang menyangka kalimat itu baik dan semoga memang baik wkwk.
Komentar