Masalah terbesar dalam ujian tesisku ini sebenarnya bukan adanya deadline, bukan juga omongan orang, tapi pikiranku sendiri. Logikanya S2 itu cuma sebentar, 2 tahun, dan mayoritas orang lulus seperti
perosotan. Bahkan banyak yang disambi kerja juga, ada yang kuliah di luar negeri. Sedangkan aku,
walaupun udah menikah, tidak ada beban khusus yang diembankan di aku.
Aku gak kerja, belum punya anak, cuma fokus aja kuliah di dalam negeri yang kayaknya gampang, eh gak lulus-lulus. Di awal aku gak bisa menerima bahwa studiku akan molor, beasiswaku udah jatuh tempo dan gak bisa cumlaude :) Waktu S1 semuanya terasa lancar di akhir, jadi aku bener-bener gak bisa terima bahwa semua kemudahan masa lalu itu tidak terulang di masa sekarang. Maka seringlah aku stress hahaha. Belum lagi LDR kan, mikirin juga funding kuliahku pasca beasiswa habis.
Ternyata makin stres makin ga bener kerja kita. Makin banyak waktu sia-sia, makin lama juga satu perkerjaan selesai. Imbasnya, lulus makin lama dan makin stres aku. Tapi dasarnya punya suami motivator (pribadi) dan gak pernah maksa-maksa, makin lama aku makin bisa terima keadaan studiku.
Ternyata kuncinya memang menerima. Seperti yang tertulis di bab awal buku "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat", menerima keadaan negatif diri kita ternyata hal yang positif. Nah lho.
Waktu kuliah di Leipzig, aku tau kalo aku gak sepinter teman-teman Eropa. Aku juga sadar bahwa lab skill-ku masih jauh dari temen-temen PhD yang bantuin supervisorku. Dengan semua kenyataan itu, aku nerima banget. Hasilnya, mau gak mau, aku belajar lebih giat dari temen-temen sekelasku. Hampir tiap hari aku masuk lab, belajar instrumen baru dan jadi bisa. Penerimaan ini ternyata jadi pecutan keras yang tidak membuat luka :)
Dan benar saja, entah benar atau tidak, saat aku menerima dan sudah pasrah, semua bantuan Illahi tiba-tiba datang berbondong-bondong. Setelah berhasil seminar hasil, tiba-tiba saja pandemi corona melanda. Tanpa babibubebo, aku langsung saja pulang ke Batu Kajang. Kamar messku jadi saksi, tanpa persiapan matang, aku udah sidang akhir dan wisuda online. Tanpa disangka-sangka.
Seperti kataku di awal, studi S2 ini harusnya seperti main perosotan. Lari menaiki tangga dengan riang, kemudian meluncur tanpa hambatan. Itu benar, bedanya adalah kadang kita hanya ingin turun perotosotan dengan ceria tanpa mau menaiki tangga. Kini, sudah selesai kasus ini. Yang tersisa hanya merapikan dokumentasinya. Juga, menyiapkan semangat baru untuk tugas lain...yang tak akan pernah usai.
Komentar